SETETES EMBUN CINTA NIYALA
Karya : Habiburahman El-Shirazi”Terus terang kak, Niyala belum tahu. Tapi Niyala akan berusaha sekuat tenaga. Untuk masalah ini, sekali lagi Niyala tidak mau menjadi pikiran Umi atau kakak. Biarlah Niyala nanti berusaha sebaik-baiknya.”
”Tapi kakak tidak bisa berbohong, Adikku.”
”Maksud kakak?”
”Tidak mungkin kakak mengatakan kau punya calon, padahal selama ini kakak tahu kau tidak punya calon. Apakah kau benar-benar punya calon tanpa sepengetahuan kakak?”
”Bohong untuk kebaikan kan tidak apa-apa?”
”Maaf kakak tidak bisa Dik.”
”Tolonglah kak, sekali ini.”
”Soalnya ini nanti bohongnya akan banyak sekali. Sebab pasti akan ditanya calonnya siapa? Orang mana? Dan lain sebagainya. Ayo bagaimana?”
”Pokoknya terserah kakak bagaimana jawabnya. Tapi tolonglah Niyala kak. Apakah kakak rela Niyala menjadi istri seorang mucikari?”
”Baiklah, kakak akan menolongmu. Tapi ada dua syaratnya, bagaimana?”
”Apa itu?”
”Pertama, kau harus mencucikan pakaian kakak selama satu bulan kakak di Jakarta. Kedua, kau harus memijit kakak nanti malam?”
”Hah, kakak gila apa? Kalau mencuci pakaian sih oke. Tapi kalau memijit kakak? Na’udzubillah. Apakah kakak lupa itu tidak boleh? Kita bukan mahram. Bagaimana mungkin aku akan memijit kakak?”
”Kakak tidak lupa. Nanti kakak pakai jaket, sehingga tanganmu tidak akan menyentuh kulit kakak. Terus, pijitnya nanti malam di ruang tamu sambil ngobrol santai bersama Umi, ayahmu dan kakakmu. Kan tidak akan ada bahayanya. Kalau tidak mau ya sudah. Kakak juga tidak mau menolongmu!”
Niyala menggeleng-geleng kepala. Kakaknya ini ada-ada saja. Ia masih teringat terakhir kali ia memijit kakaknya saat ia kelas dua SMP. Itupun cuma mijit kakinya yang terkilir saat main bola dengan para remaja masjid. Setelah itu, ia tidak pernah lagi bersentuhan dengan kakaknya itu.
”Tapi Cuma sekali itu kan?”
Faiq menganggukkan kepala.
”Baiklah, Niyala terima syarat kakak.”
”Okey, kalau begitu nanti kakak akan atur bahasanya dan lain sebagainya dengan sebaik-baiknya. Sekarang tersenyumlah, jangan sedih begitu.”
Niyala tersenyum. Faiq menatap wajah adik angkatnya dengan seksama. Niyala tersipu.
”Yuk kita lanjutkan perjalanan. Ayahmu sudah menunggu di masjid terminal.” Faiq menghentikan taksi yang lewat. Ia dan Niyala lalu naik taksi dan meluncur ke Pulo Gadung.
****
KEDATANGAN Pak Rusli Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Pak Rusli banyak bercerita tentang perkembangan Sidempuan. Beliau juga banyak mengenang almarhumah istrinya yang tak lain adalah teman karib Umi selama belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Umi banyak menceritakan prestasi dan segala kebaikan Niyala.
”Niyala sangat halus perasaannya, sabar, tekun, penuh pengertian dan tutur bahasanya membuat siapa yang diajak bicara akan menyukainya. Persis seperti almurhamah ibunya.” ucap Umi mengenang.
”Yah, sifat almarhumah yang sangat mulia itulah yang membuat saya tidak pernah luntur mencintainya. Sudah hampir empat belas tahun dia tiada namun saya tidak bisa melupakannya. Dan saya pun tidak pernah berpikir sampai sekarang untuk mencari penggantinya.” Seloroh pak Rusli Hasibuan dengan mata berkaca-kaca.
Diam-diam Niyala sangat bangga dengan kesetiaan dan rasa cinta ayahnya pada almarhumah ibunya.
Perbincangan yang bernuansa nostalgia yang terkadang terasa melankolis berubah warna menjadi ceria tatkala Faiq nimbrung bicara. Faiq yang pandai melucu dan menyegarkan suasana kembali bercerita panjang lebar tentang hidupnya selama belajar di Mesir dan Inggris. Juga tentang pengalamannya singgah di Perancis, Italia, Turki dan malaysia. Pak Rusli dan Herman sangat senang medengarnya. Setelah cukup lama berbincang-bincang, Pak Rusli meminta waktu pada Umi untuk melakukan perbincangan serius usai makan malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta.Dan malam itu. Di ruang makan tampak lima orang duduk mengitari meja bundar. Umi duduk dekat pintu ruang tamu. Di samping kanannya Niyala. Dan di samping kirinya Pak Rusli. Sementara Faiq duduk tepat di samping kanan Niyala sedangkan Herman duduk di samping kiri Pak Rusli. Mereka semua telah selesai makan. Semuanya tampak tenang, ceria dan menikmati pertemuan di meja makan itu, kecuali Niyala . Ia sangat tegang. Keringat dinginnya telah keluar. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan masalah yan ditakutinya itu.
”Pak Rusli, katanya ada yang mau diperbincangkan. Silahkan mumpung terlihat masih segar dan masih sore.” Umi mengawali pembicaraan.
”Iya ini ada hal yang ingin saya sampaikan. Karena ini menyangkut dua keluarga. Yaitu keluaraga saya dan keluarga Umi maka kita perlu bermusyawarah dengan sebaik-baiknya.”
”Apakah masalahnya menyangkut Niyala?”
”Benar Umi. Begini, saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala layaknya anak kandung sendiri. Dan kami sangat berterima kasih atas segala kebaikan Umi. Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan kami ingin mengajak Niyala pulang pulang ke Sidempuan selepas wisuda. Dia sangat dibutuhkan masyarakat sana. Biarlah dia mengabdikan diri dan mengamalkan ilmunya di tanah kelahirannya. Apalagi kebetulan sekali ada seorang tokoh masyarakat yang melamar Niyala untuk anak lelakinya. Dan terus terang saya sangat susah untuk menolak lamaran itu. Kami yakin ini masalah yang berat bagi Umi. Umi tentu berat melepas Niyala. Namun kami dengan segala hormat mohon kebijaksanaan Umi.”
Mendengar permintaan Pak Rusli yang to the point itu hati Umi bergetar. Setelah sedemikian dalam hatinya terikat pada anak angkatnya itu apakah harus ia melepaskannya begitu saja. Memang ini tidak mudah baginya. Ia sudah terlanjur sangat mencintai Niyala. Ia merasa tidak ada orang yang sehalus dan sepengertian Niyala. Dan tadi pagi baru saja ia memberikan rumah ini pada Niyala. Kini Niyala diminta kembali oleh ayahnya. Memang jika mengikuti isi wasiah dari almarhumah ibu kandung Niyala maka tugas Umi sudah selesai begitu Niyala telah tumbuh dewasa menjadi gadis yang salehah. Tak terasa ada yang meleleh dari sudut mata Umi. Dengan suara yang terbata-bata dia berkata,
“Tidak mudah memang untuk ikhlas. Juga tidak mudah untuk ditinggal oleh sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai. Sesuai dengan wasiat almarhumah ibundanya Niyala tugas saya sudah selesai. Saya tidak bisa menahan atau meminta Niyala untuk harus tinggal di sini. Dia memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Maka yang paling bijaksana menurutku ialah menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Niyala. Apakah dia akan tetap tinggal di sini atau tinggal di tanah kelahirannya, Sidempuan. Juga masalah pasangan hidupnya, Niyalalah yang paling berhak memilih.”
“Umi sungguh bijaksana. Anakku Niyala kau sudah dengar sendiri apa yang dikatakan Umi. Sekarang kaulah yang memutuskan, dimana kau akan tinggal dan mengabdikan diri?”
Niyala diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk. Ia berharap Faiq akan bicara menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Suasana menjadi hening beberapa saat lamanya. Faiq tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak karuan kacaunya.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SETETES EMBUN CINTA NIYALA ( ✔ )
SpiritualSETETES EMBUN CINTA NIYALA Karya : Habiburahman El-Shirazi SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta? Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu. Tak ada! Jawabnya send...