PART 10

3.8K 134 1
                                    

SETETES EMBUN CINTA NIYALA
Karya : Habiburahman El-Shirazi

Niyala sendiri tidak akan tahu seperti apa akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. Yang jelas ia sedikit merasa lega, kakaknya itu benar-benar membelanya. Untuk sementara ia merasa selamat dari kenistaan hidup yang akhir-akhir ini menghantuinya.

”Pak Rusli, yang terjadi adalah ananda mencintai Niyala puteri Bapak. Dan Niyala mencintai ananda. Kami sangat memohon Bapak berkenan merestui kami untuk melaksanakan akad nikah secepatnya. Dan Umi tidak bermimpi. Ini kenyataan Umi.” Ucap Faiq.

Tiba-tiba Herman yang sedari tadi diam saja akhirnya berbicara juga,

”Sebaiknya ayah tidak usah pikir panjang lagi. Restui dan ridhai saja mereka berdua. Adik Faiq ini jelas jauh lebih baik daripada Si Roger puteranya Pak Cosmas itu. Yang paling penting adalah kebahagiaan Dik Niyala. Jika ia menikah dengan Dik Faiq, kebahagiaan itu jelas ada di depan mata. Mereka saling mencintai dan telah saling mengenal dan memahami. Sedangkan jika menikah dengan Si Roger, saya tidak tahu bahagia apa tidak Dik Niyala nanti.”

”Saya pasrah. Saya ikut pada kebijaksanaan Umi.” Lirih Pak Rusli.

”Saya belum bisa menerima kenyataan ini. Ini benar-benar sesuatu yang sangat mengagetkan.” Kata Umi.

”Umi, ananda mohon terimalah kenyataan ini. Apakah saling mencintai itu dosa? Perasaan cinta itu datang dengan sendirinya. Masuk begitu saja kedalam hati kami. Kami berdua saling mencintai Umi. Apakah Umi rela kami hidup menderita? Apakah Umi tidak melihat bagaimana akhir-akhir ini Dik Niyala sering menangis? Dia sangat ketakutan dan kuatir akan kehilangan orang yang dicintainya. Adik Niyala sangat mencintai dan menghormati Umi sehingga tidak berani untuk mengutarakan isi hatinya. Sebab orang yang dicintainya adalah anak laki-laki Umi satu-satunya. Umi, ananda yakin seyakin-yakinnya Umi tidak akan mendapatkan mantu yang lebih baik dari Adik Niyala. Apakah Umi akan menyia-nyiakan kebaikan yang telah dibangun bersama sejak lama ini?” Desak Faiq dengan nada serius.

Niyala terkesima melihat akting kakaknya yang begitu serius. Ia pun lantas mengimbangi,

”Saya sudah bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan Kak Faiq. Biarlah cinta ini cukup sekali dan akan aku bawa sampai mati.
Bukankah Umi telah mengajarkan dan mencontohkan hal seperti ini?”
Kalimat yang diucapkan Niyala dengan tegas ini membuat perempuan separuh baya itu tersentak. Ia sadar, yang tengah ia hadapi kini adalah gelombang cinta yang dahsyat. Ia harus berlaku bijak. Jika tidak, maka penyesalan yang akan ia petik.

”Kalau memang sudah demikian bulat dan kuat cinta kalian, Umi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merestui kalian. Umi sangat mencintai kalian berdua. Meskipun Umi sangat terkejut adanya kenyataan ini, namun Umi tetap merasa sangat bahagia bahwa kalian akan tetap hidup satu atap dalam ikatan suci yang kuat yaitu pernikahan. Kalau begitu, malam ini juga kita musyawarahkan hal-hal mengenai pelaksanaan pernikahan kalian.”

”Mereka berdua adalah orang-orang yang terpelajar. Pasti mereka telah membuat rencana yang matang. Jadi kita serahkan saja sepenuhnya masalah pelaksanaan pernikahan mereka pada mereka. Bukankah begitu ayah?” sahut Herman.

Pak Rusli mengangguk pasrah. Perasaan bahagia dan sedih bercampur baur dalam hatinya. Bahagia karena puterinya sebentar lagi akan menjadi dokter dan memiliki seorang suami yang baik dan berpendidikan tinggi. Sedih jika mengingat hutangnya delapan puluh juta pada Pak Cosmas dan ia akan bilang apa pada Pak Cosmas.
Padahal seluruh ongkos ke Jakarta ini pun diberi oleh Pak Cosmas.

”Apa kalian sudah punya rencana?” Tanya Umi dengan memandang Niyala dan Faiq bergantian. Niyala tidak menjawab apa-apa. Sebab ia tidak tahu skenario ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya sedang berusaha menyelamatkan dirinya.

”Alhamdulillah Umi, kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Dan kami berharap Umi, Pak Rusli dan Mas Herman menyetujui dan merestui rencana kami. Kami akan melangsungkan akad nikah secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang.

Hati Niyala tiba-tiba berdesir mendengar akad nikah secepatnya.
Apakah kakaknya sudah gila? Apa kakaknya tidak sadar sedang bebicara dengan siapa? Ia melirik Faiq. Pada saat yang sama Faiq juga melirik Niyala. Lirikan mereka bertemu. Faiq mengerdipkan mata sambil tersenyum. Niyala tidak mengerti. Ia hanya mengangguk setuju. Ia hanya berpikir, pokoknya jika dibelakang nanti ada masalah yang bertanggung jawab adalah kakaknya,Faiq.

”Kapan rencana kalian mau akad nikah?” Tanya Umi.

”Secepatnya.” Sahut faiq.

”Ya, pastinya kapan?”

”Sebelum Ananda menjawab waktunya. Terlebih dahulu ananda menanyakan kembali, apakah Umi, Pak Rusli dan Mas Herman benar-benar merestui pernikahan kami lahir batin? Kami ingin pernikahan kami penuh berkah, berlimpah doa dari orang-orang terdekat yang kami cintai. Jika ada satu zarrah rasa tidak ikhlas, lebih baik kami berdua tidak menikah selamanya.”

”Umi ikhlas lahir dan batin, anakku.”

”Bapak juga ikhlas lahir batin.”

”Saya juga ikhlas adik perempuanku satu-satunya menikah dengan pemuda yang baik sepertimu, Faiq.”

”Alhamdulillah. Kami sangat bahagia mendengarnya. Dik niyala, kau sudah mantap kan dengan rencana pernikahan kita. Sudah mantap lahit batin kan Dik?” Kata Faiq sambil menyentuh pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat mendengar pertanyaan itu. Nadanya begitu mantap meyakinkan. Ia menatap wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastian ini main-main apa sungguhan. Ia tidak menemukan apa-apa kecuali mata Faiq yang jernih bersinar dan senyumnya yang manis mengembang.

”Kenapa tiba-tiba kau ragu Adikku? Apa kau masih menyangsikan kebulatan niat kakak untuk membahagiakanmu??”

Mata Niyala berkaca-kaca, ”Apakah ini sungguhan ataukah cuma sandiwara? Ataukah Cuma mimpi?” Tanyanya dengan terisak.

”Ini sungguh dan serius. Kita akan menikah secepatnya. Dan kita akan tetap tinggal bersama di rumah mungil ini dengan penuh cinta. Kita akan mereda masa depan bersama. Dan akan membesarkan anak-anak kita nanti bersama. Apakah kau tidak mau mewujudkan impian ini?”

Tangis Niyala meledak, dengan suara terbata-bata ia bertanya, ”Benarkah kita a...kan menikah kak?”

Ruangan itu diselimuti rasa haru yang luar biasa. Umi sesengukan menangis. Ia menangis seolah merasakan kebahagiaan Niyala.

Cintanya yang terpendam sebelas tahun yang masih dalam impian akan menjadi kenyataan. Umi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rusli juga menangis. Ia menangis karena melihat secara lahir anaknya menangis dan bertanya seperti itu karena luapan bahagia yang luar biasa. Juga Herman. Mereka bertiga berpikiran dan berperasaan sama. Mereka tidak tahu bahwa Niyala menangis karena masih mencari-cari satu kepastian, apakah yang dilakukan kakaknya Faiq itu cuma sekedar sandiwara untuk menyelamatkannya sementara. Ataukah Faiq bersungguh-sungguh hendak menikahinya sebagai istrinya selamanya. Sebab ia merasa masalahnya sudah tidak sekedar main-main lagi. Kalaulah main-main, apakah permainan ini tidak akan menyakitkan semuanya?.
Menyakitkan Umi, ayahnya dan Mas Herman.

”Kak Faiq, jelaskan padaku...apa arti semua ini? Kakak sedang bersandiwara bukan?” Lanjut Niyala dengan terisak dan air mata berkucuran.

Tbc

SETETES EMBUN CINTA NIYALA ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang