Aku dan Renata menuju ruangan untuk mendonorkan darah, dokter meminta lebih baik mengundurkan niat itu karena akan membahayakan kondisi sendiri.
"Tapi benaran kak, Ronita mau mendonorkan orang itu. Aku yang menyebabkan semua itu."
"Sudah lah Nit, kamu ini juga belum sehat betul. Biar Nata aja."
"Kamu gak pernah ngerti betapa berharganya seorang perempuan itu di mata lelaki itu."
"Kalau kamu nekad gimana nanti keadaanmu?"
"Aku ikhlas Nat."
Akhirnya Nata memberikan sekantong darah untuk perempuan itu, dan benar setelah dirinya melalukan transfusi langsung pingsan seketika itu juga. Dan langsung dibawa ke ruangan tindakan segera memeriksa.
'Dret... dret... dret....' Getar ponsel Nita. Papa yang dari tadi tak sadarinya. Dan ketika menelepon untuk kesekian kalinya langsung mendapatkan omelan beruntung saja Nata bisa bersuara sama dengan Nita.
"Halo, ya ada apa pa? Maaf pa, lagi jalan sama teman-teman."
"Teman-teman terus kamu itu, kenapa gak pulang? Dan mana kamu gak ngabarin dulu kalau gak jadi, tahu gitu papa sama mama gak serepot ini ke kamu."
"Iya, paham pa. Nita selalu salah kok di depan papa maupun mama. Gak pernah diperhatikan."
"Sudah, kenapa kamu gak pulang? Kenapa juga Nat agak angkat telepon papa?"
"Biasalah kalau aku pasti ketemuan sama teman-teman, kita di sini ada acara reuni jadi gak bisa pulang."
Papanya yang selalu marah-marah tidak jelas sering melibatkan ke Nita, entah dengan maksud pilih kasih atau bagaimana selalu begitu. Belum lagi jika Nita meminta pasti seribu alasan berdatangan, berbeda dengan halnya Nata.
Keadaan seorang perempuan itu kian buruk, namun kondisi Nita masih sedikit lemas. Namun itu tak menyurutkan semangatnya yang sama seperti lelaki.
"Eh, kamu mau ke mana?"
"Sudah lah, gue capek di infus melulu. Bosan tahu gak."
"Tapi kondisimu belum sehat betul, Nita."
"Gue lebih mementingkan nasib si cewek yang gue tabrak daripada gue sendiri."
Nita yang benar-benar mencabut infusnya itu dan melihat perempuan yang terbaring di ranjang rumah sakit, lelaki yang membuat degupan jantungnya kencang menangisi di tepat tempat itu.
"Nita, kamu pulang gih. Hari sudah semakin larut, biar dia aku yang jaga. Kamu juga kan lagi gak fit belum juga obat kamu belum minum kan? Ingat kamu itu selesai operasi dan donor darah."
"Biar gue disini dulu, memastikan kondisi perempuan itu."
"Ya sudah kalau itu maumu, kamu mau makan apa aku carikan?"
Nata yang mencari makan kebetulan berpas-pasan dengan lelaki itu. Kebetulan uang cash Nata kurang untuk membeli makanan, jika mengambil lewat atm harus pergi sejauh satu kilometer. Dan dengan tulus ikhlas laki-laki itu membayarkan semuanya.
"Ini pakai uang saya saja, sudah selayaknya jika seorang laki-laki membantu para kaum hawa untuk membuatnya tak kelaparan dalam jasmani maupun rohani."
"Haduh gak usah repot-repot kak, saya bisa sendiri kok."
"Buat kamu tidak boleh menolak."
"Ya sudah, suatu saat akan saya ganti."
"Ya di simpan dulu aja, oh ya kenalin aku Ruslan. Dan anak komplek B12, kalau kamu?"
"Aku Nata, anak komplek...." Belum sempat Nata melanjutkan, mama menelepon. "Maaf, sebentar ya. Kamu bisa kok menghubungi aku di kartu nama ini." Nata yang menerima telepon dan sedikit menjauh dari Ruslan.
Di samping itu Nita yang berusaha masuk kebetulan saja situasi tidak ada penjaga maupun lelaki itu. Dirinya yang terduduk di sebelah kanan tempat infus itu terpasang langsung air matanya pecah seketika itu juga.
"Kak, maafkan aku yang membuat kakak seperti ini. Aku salah, aku yang menyebabkan kakak seperti ini. Aku mohon kak, sadarlah." Nita yang terus menerus menyalahkan dirinya sambil memukul dadanya itu sempat sesak nafas.
"Ka... mu, ke... napa? Dan ka... mu si... apa?" Begitu terkejutnya Nita ketika melihat perempuan yang di tabraknya itu siuman.
"Aku adalah orang yang menabrak kamu tadi pagi, memang aku bodoh dan sangat bodoh kenapa aku bisa lalai seperti itu. Dan...."
"Berhenti me... nyala... hi di... rimu sen... diri. Ju... jur, a... ku ca... pek de... ngan dia."
"Dia? Maksud kamu lelaki yang mengejarmu itu? Bukannya dia itu tunangan kamu?"
"I... ya, ta... pi ada ban... yak hal yang a... ku be... lum ta... hu ten... tang dia. Ke... nalkan, aku Rina. Ka... mu?"
"Aku Ronita panggil aja Roni atau Nita, tapi lebih baiknya kalau di luar panggil aja Roni."
Tak lama kemudian lelaki itu datang menghampiri Rina, dan begitu ketakutan melihat ada Nita di situ namun tak sedikit pun dirinya mengira bahwa ia melihat sosok perempuan. Memang lah jika Nita berpenampilan hampir 90% seperti laki-laki, tak khayal jika banyak mengira dirinya tidak tomboy melainkan benar-benar laki-laki.
YOU ARE READING
PUDAR SENJA
RomanceSENJA sering di kaitkan dengan pesona alam yang tak jarang banyak yang mengabadikan sebuah moment yang berlangsung selama 30 menit saja. Kisah yang teringkas dalam antalogi cerpen bertema PUDAR SENJA memberikan makna tersendiri dalam menyuguhkan pes...