Hi, June

3. Handsaplast

Juni menendang kerikil pelan, lalu menatap gerbang lagi, dia menghela nafas.

Dari jam setengah enam dia udah stay berdiri di samping gerbang kedua sekolah-nya, tapi yang ditunggu-tunggu gak muncul.

Apa dia udah gak ada?

Amit-amit sih.

"Yew anjir, kalo mau ninggalin watsap dong."

Juni menoleh, berdecak, sial banget ketemu makhluk aneh gini pagi-pagi.

Dhiren melihat layar hape-nya, berkaca di kamera ponsel, kemudian mendengus, karena buru-buru dia jadi gak sempet pake sunscreen.

"Lo mau apa sih? Mau ganjen? Entar ajalah bareng gue pulang sekolah." kata Dhiren asal nuduh.

Juni menoleh malas, "Dua kata."

Dhiren ngangguk-ngangguk, sudah paham, dia menutup mulutnya, tapi gatel aja pengen ngomong terus.

Juni mengetatkan tali tasnya, memandang gerbang dengan sendu, lalu menunduk. Mungkin emang kemarin terakhir kalinya dia ketemu cowok itu.

Theodore, anak kelas duabelas Ipa 1, yang paling rajin, selalu berangkat sekolah sebelum rame, jarang jajan, ah banyaklah data yang dia terima tentang cowok itu.

Juni udah niat sekali, udah teguh untuk menjadikan nama Theodore berada pada nomer urut satu di Kartu Keluarga nanti.

Dia mendengus, emang kayaknya udah takdir kalo seumur hidup dia bakalan diintilin Dhiren sampe ajal.

Juni mengangkat kepala, memandang gerbang lagi, terus syok begitu saja.

Itu...

Spontan Juni langsung menyunggingkan senyum paling lebar, menyambut cowok itu dengan binar-binar bahagia.

"ABANG TEYOOO!!!!!!"

Dhiren yang berdiri disebelah Juni ikut mengalihkan pandangan, memindai sekeliling, mencari orang yang dipanggil Juni.

Tapi si pemilik nama gak menunjukan keberadaannya.

"ABANG TEYOOOO!!"

Dhiren inisiatif aja buat ikut teriak, walau dia gak kenal dan gak akrab banget sama yang namanya Theo itu. Tau mukanya aja kayaknya nggak.

"YOK YANG NAMANYA ABANG TEYO MERAPAT DULU."

Juni mendelik, melihat cowok itu dengan senewen. "Jangan ganjen, bagian gua ini."