7. Jam Kosong

5.5K 251 9
                                    







Berkah dari Tuhan banget hari ini jamkos sampe empat mapel semua angkatan, hal ini gak bakal Juni sia-siain, dia langsung pergi ke kelas Theo tanpa ragu.

Walau junior, muka tebel sama koneksi Juni gak perlu diraguin, dia bahkan bisa keluar masuk kelas duabelas dengan santuy.

Kali ini Juni sendirian, Dhiren gak tau kemana, cowok itu langsung ngilang bahkan sebelum pengumuman jamkos. Terserahlah, udah gede gini, gak perlu harus ngintil di bawah ketek Juni.


Cewek itu mengintip dari pintu, melihat kelas duabelas Ipa 1 sepi, cuma ada tas-tas tanpa pemilik dan juga Theo tentunya.

Disana Theo melipat tangannya ke atas meja, menjadikannya tangannya bantal dengan muka menoleh ke sebelah kiri, kan udah dibilang jamkos itu salah satu hal yang paling dibenci Theo.



Dia gak bisa kalo gak ada kerjaan begini.





Dari pantulan bayang di jendela, sebenernya Theo udah jelas ngeliat Juni, cowok itu mendengus, seharian ini kayaknya dia gak bisa bernafas dengan santai, ada aja gangguan.

Mau ngelamun aja susah.






"Ssssttt... Abang Theo!!!" desis cewek itu yang masih berada di depan pintu.




Mau tak mau Theo menoleh dengan kepala masih tetap rebahan, dia memandang Juni dengan alis terangkat satu seolah gak pengen basa-basi.

Dilihatnya cewek itu melirik kesana-kemari memperhatikan situasi, membuat Theo bertanya-tanya dalam hati, kenapa yang namanya Juni ini gak pernah bisa langsung ke inti kalo berinteraksi sama Theo?





Juni menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, tersenyum geli dengan pipi panas membuat Theo semakin menerka-nerka tak jelas.





"Aku boleh masuk?" tanya Juni dengan senyum sejuta dollar.





Jidat Theo mengkerut, nggak biasanya juga ini cewek ada sopan-santunnya ke dia, biasanya aja langsung nyamper sama cengar-cengir.



"Terserah."







"Beneran?" tanya Juni lagi, untuk memastikan.






Theo mengangkat kepala, dia memandang Juni tanpa ekspresi. "Yaudah sana."


Ya namanya juga Juni, mana mau dia kalo langsung patuhin penolakan dari Theo.



"Kalo aku masuk gak bakalan ada fitnah kan?" Juni berdehem.






Theo memandangnya lurus, mencari darimana asalnya kepedean cewek ini, ada aja alasan yang diberikan dan semuanya gak masuk akal.

Cowok itu males menanggapi, dia merebahkan kepala lagi, membuang muka ke kiri, bertumpu pada satu tangan, tapi telinganya memasang radar tegas saat suara gesekan kaki melangkah ke tempatnya.



Satu menit, cewek itu masih belum cerocos tak jelas.



Dua sampai tiga menit, masih juga belum heboh.





Empat menit, tak ada tanda-tanda, dalam hati Theo menyimpulkan sendiri mungkin dia udah pulang ke kelasnya, lagipula disini juga ngapain, orang yang mau diajak bicara lagi males ngapa-ngapain.






Dimenit kelima Theo merasakan sebuah tangan mengusap rambutnya pelan, membuat Theo spontan melirik ke atas, ada Juni, cewek itu menyengir lebar-lebar.


"Abang udah makan?" tanya Juni basa-basi.



Dia gak bisa tahan senyum meledak karena akhirnya dapet ngelus rambut Theo se-romantis gini, se-lama ini juga, kalo kemaren kan karena ganjen terus kecepetan juga ngelusnya.





Biar Juni review sebentar, rambutnya halus kayaknya dia tipe yang rajin keramas, wanginya mirip shampoo silksun (sengaja dibalik, gak ada niat sponsor), apalagi ya, ya pokoknya gitu, bentuk rambutnya sama kayak manusia normal, warnanya juga hitam.




Pasti lo mau ngelus juga kan?





"Udah." jawab Theo, udah kemaren malem mah, tapi yang penting kan makan, lagian juga dia gak laper-laper amat.




Elusan Juni berubah jadi pijatan kecil, cewek itu ternyata pinter ngelakuinnya.




"Makan yang banyak ya Bang, biar cepet gede." nasehat Juni.







Theo ngangguk kecil, mengiyakan saja.










Cowok itu mengamit tangan Juni dari kepalanya, lalu menegakkan badan, rasanya kurang nyaman kalo terlalu banyak kena sentuh lawan jenis. Karena Theo bukan cowok yang gampang menyambut tangan lebar-lebar ke kaum hawa.


Ya kayaknya faktor itu juga yang bikin dia ngerasa kurang dan gak pengin terlalu akrab sama Juni.


Theo memandang ke arah pintu, melihat bangku di kelas depan yang rame sekali, biasanya emang selalu rame sih tapi baru kali ini Theo sampe harus pasang mata lebar-lebar untuk memastikan apa yang baru dia liat tadi.


Dia mengkerutkan jidat, merasa aneh melihat orang itu berada di sana, seperti asing.






Dhiren kan namanya? Ya kayaknya Dhiren. Cowok itu jadi satu-satunya junior di sana, tapi juga jadi orang yang paling punya peran besar. Jarinya mengapit satu batang rokok, menghisapnya kuat-kuat lalu menghembus tanpa beban. Di sana dia nggak kelihatan kayak Dhiren yang suka pake skincare.



Cowok itu bahkan menjadi orang yang paling kasar dalam berkata, mengumpat tanpa malu, atau bahkan bermain tangan, bener-bener kayak anak badboy dan manly.







Tapi di mata Theo, dia orang yang suka cari perhatian.







Tanpa disangka Dhiren memandangnya balik, menghembuskan asap dari mulutnya sambil memiringkan kepala, dia tersenyum kecil lalu mengangkat tangan, menyapa Theo.









Theo tetap diam.









***










an:

theo udah ada rasa kecewa nih sama dhiren, padahal baru aja baper:(

btw, karena kemaren saya gak update jadi saya double update hari ini:))))))

silahkan klik vote dan beri komen untuk mengapresiasi saya, terimakasih

Hi, JuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang