4. Theo dan Dunianya

9.9K 348 8
                                    
















Dua hal yang paling Theo benci di dunia adalah kerja kelompok dan jam kosong.





"Gue nyari yang nomer satu ya." Haikal tiba-tiba berkata.


"Gue nomor dua deh." Jeno ikut nyambung.


Hati-hati mereka melihat Theo yang diam saja, saling melirik, akhirnya Jeno yang memberanikan diri mengangkat suara.




Tapi nyaris kicep waktu Theo tiba-tiba melihat.






"Lo sisanya yah." Jeno nyengir, Haikal juga.



Susah payah mereka berdua menelan ludah, mengobrol dengan Theo emang kayak ngomong sama Bokap sendiri, harus jaga imej.

Bawaannya gemeter aja.






Theo melihat buku catatannya, lalu memandang Jeno dan Haikal bergantian. "Ada lima essay, saya nomor tiga, empat, sama lima yah?"

Mereka ngangguk.





"Biar saya aja yang ngerjain semuanya." kata Theo datar.



"Gak apa-apa biar kita bantu sedikit, ya gak Kal?" Jeno melirik cowok di sebelahnya, meminta sokongan dari Haikal.

Haikal mengangguk semangat.









Theo memandang mereka lurus-lurus, "Bukannya nggak ada beda-nya ya?" dia melanjutkan. "Memilih essay yang paling mudah dikerjakan itu bikin saya ngelihat kalian gak ada kompetennya."




Mereka berdua menunduk, agak sedikit dimasukkan hati, memang bener kata Theo, mereka sama sekali nggak ada gunanya dalam perkelompokan.

Dua murid yang terbelakang, dibawah rata-rata, yang paling sialnya ya sering dibebankan jadi anggota kelompok bareng Theo.

Ya, cuma Theo yang nggak pemilih. Cuma Theo yang masih mau menerima mereka dengan segala tidak berkompetennya.



Theo menghela nafas berat, tak merasa bersalah, lagipula yang dibicarakannya selalu jujur dan berlandaskan fakta. Dia gak butuh jadi orang yang selalu tidak enakkan.


"Biar saya yang ngerjain semuanya." jeda. "Seperti biasanya."









***







Hal-hal yang biasa Theo lakukan saat jam istirahat ya langsung pergi ke kantin sekolahnya, bukan buat jajan, dia sudah sering bekerja receh-receh mencuci piring bekas teman-temannya.

Pemuda itu memasang apron miliknya dengan kemas, lalu mulai mencuci banyak piring pelan-pelan, udah tiga bulan dia ngelakuin ini semua, dan kayaknya cuci piring jadi salah satu self healing terbaik Theo kali ini.

Nggak jijik, satu persatu piring dia kumpulkan sampahnya ke plastik besar, ada tisu basah, ada ayam utuh, atau nasinya yang utuh, ada juga yang gak tersentuh sama sekali. Theo jadi menerka-nerka, kenapa makhluk bego kayak mereka bisa buang-buang makanan seenak jidat, harusnya dari awal mereka dimatiin aja.






"Theo, kayak biasanya aja ya, duitnya udah saya taro di atas dispenser." teriak Ibu kantin dari depan membuat Theo menegakkan tubuh.

Pemuda itu cuma mengangguk walau tau Ibu kantin belum tentu melihat respon-nya, Theo mengangkat kepala memandang uang pecahan tigapuluh ribu di atas dispenser, upahnya.



Dari hasil cuci wajan, panci, gelas, sama piring yang se-banyak ini.









Kenapa cari uang sepeser jadi perkara yang sulit buat dirinya?







Pemuda itu berhenti sebentar, mencuci tangannya yang penuh busa, lalu memperhatikan kedua telapak tangannya yang memerah dan terkelupas parah. Theo menghela nafas, pemuda itu menyeka air yang terciprat ke muka-nya, merasakan sedikit perih di dadanya.






Theo menghela nafas lagi, sangat berat.






Dikehidupan Theo, uang selalu jadi masalahnya. Kalo bukan untuk makan, Theo najis banget buat ngelakuin semua ini, bekerja receh-receh berjam-jam cuma buat ngehasilin uang sepeser.





Tiap kali Theo menerawang, dia berpikir kenapa cara hidup temen-temennya se-mudah itu?






Kenapa kayak cuma dia yang susah sendiri?




Buat bertahan hidup aja Theo kadang berpikir dia gak sanggup, tapi ada aja pikiran cewek dungu yang bilang harus tetep kuat dan jadiin dia alasan buat tetep hidup.









Buat apa? Emang dikira cuma ngeliat mukanya Theo bisa kenyang, bisa hidup makmur dan sejahtera?





Udah gak make sense sama sekali.






Tapi satu yang Theo paling gak ngerti,







Kenapa kemaren dia gak jadi akhirin semuanya?





Seolah-olah masih banyak sesuatu yang harus Theo lakukan buat tetep hidup.








Pemuda itu melihat tangannya yang dibalut handsaplast Doraemon, salah satunya ini.








Dia masih harus tetep hidup buat bayar handsaplast ini.






***

Hi, JuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang