2. Dhiren

12.6K 252 7
                                    









Juni: keluar rumah cepet, sambut gue dulu sinii!!!!

Dhiren berdecak males, sumpah kayak gak punya kaki lama-lama ini orang, jalan langsung ke kamarnya susah amat, harus pake acara di jemput depan pintu dulu.

Biasanya juga asal masuk, kayak rumah sendiri.


Dhiren: pake gendang kan?

Juni: pake dollar lah sawer

"Jamet." hinanya, masih asik ndelosor di kasur sambil ngintip dari jendela ngeliat Juni yang sibuk mencak-mencak sendiri.


Udahlah biarin aja, ntar juga capek sendiri, lagian sejak kapan sih cewek satu ini kenal tata krama kalo bareng Dhiren.







"EMANG YAHHH LO NOH BANGSAT DHIR, TEMEN MAU SILATURAHMI BUKANNYA DIBUKAIN PINTU MALAH DICUEKIN."




Mendengar teriakan Juni, Dhiren masih tak gentar, dia malah makin nyolot.




"LO SILATURAHMI AJA DULU SAMA TETANGGA GUE."





Juni: gak usah banyak bacot congor lo Dhir, inget gue masih simpen flashdisk lo yang isinya video bugil cewek jepun

Dhiren: BUKAAAN GUE SERIUSSS, PUNYA YUTAA ITUMAH

Juni: punya Yuta ya punya elo juga

Dhiren: gak bisa gitu dong, masa kolor dia punya gue juga, gak logis

Juni: muka lo yang gak logis



Yew, Dhiren shaming terus, padahal tiga angkatan mengakui gimana kece dan rupawannya seorang Dhirendra anak sebelas Ipa 3, yang hobinya nyebat itu.

Dhiren beranjak dari kasur, melangkah ke jendela, menunduk ke bawah memaki cewek itu.




"ELAAAHHH MASUK AJA CEPET, PINTU KAGAK DIKUNCI."






Juni mengadahkan kepala, mengacungkan jari tengah, lalu membuka pintu dengan kencang.

"Perasaan gak ada harga dirinya gue jadi cewek di mata Dhiren, asal nyelonong aja ke kamarnya." oceh Juni sebal sambil buru-buru menaiki tangga.


***





"Tadi siang gue ketemu cowok." adu Juni sambil merebahkan diri di kasur, diikuti Dhiren, pandangan mereka sama-sama ke atas, melihat plafon putih.



Dhiren ngangguk-nganggguk, "Pentingkah? Apa gue harus ke siaran radio, rebutan mic sama marbot mesjid buat ngumumin berita super penting ini?"




Juni menoleh, "Dua kata."




Dhiren ikut menoleh, menaikkan alis. "Apaan?"





"Lo ba-bi."





Dhiren ngangguk-nganggguk lagi, memilih untuk tidak cari gara-gara dan menyimak dengan baik.



Juni menghela nafas, dia menatap sisi muka Dhiren yang menyamping, memindainya dari inchi ke inchi, banyak yang berubah dari rupa cowok itu, lebih ganteng ya jelas soalnya backingan dia ya skincare, kecuali bekas luka baret di bawah telinga Dhiren yang memutih, ulahnya dulu.

Juni mengangkat tangannya, menyentuh bagian itu.





"Waktu itu...." Juni ragu-ragu.








Dia menelan ludah, "Waktu itu, Waktu lo pengen mati, apa lo beneran sungguh-sungguh?" dia ambil jeda. "Seandainya gue gak dateng, lo beneran bakal mati?"



Dhiren menatap masih lurus, menerawang empat tahun lalu, waktu kelas satu SMP dia nekat beli sianida di toko online, emang miris, tapi kalo diinget-inget sekarang rasanya pengen ngakak aja, dulu dia pernah se-melankolis itu.

Dia ikut menyentuh baret sepanjang lima senti di bawah telinganya, lalu ketawa. Masih inget waktu dulu Juni gebuk-gebuk dia pake penggaris besi sambil nangis, jelek banget mukanya, Dhiren dulu sampe ngakak jerit dalem hati. Hasilnya ya ini, ya gak apa-apa lah jadi kenangan aja.

Sekaligus jadi pengingat, kalo dia berani ngelakuin hal yang sama lagi bukan cuma gebuk mungkin sekarang Dhiren bakalan di benturin ke tralis jendela.







"Ada masa lo ketawa paling kenceng tapi jadi murung di rumah." cerita Dhiren. "Waktu itu gue ngerasa apa yaa..."






"Kayak banyak tekanan aja." cowok itu menyentuh dadanya. "Di sini."







"Gue bener-bener sepi, jadi gak ada alasan buat tetep bertahan, dan milih akhirin semuanya aja."








Dhiren memegang dadanya, membayangkan perasaannya dulu. "Tapi pas elo dateng,"

Jeda.








"Kenapa bukan elo yang gue jadiin alasan buat tetep bertahan?"









Juni menghela nafas, "Karena sepi ya?"








Dhiren menggeleng, dia menjadikan satu tangannya bantal, tanpa berkedip dia berkata.


"Karena gue benci diri gue sendiri."


"Kenapa gue gak pernah ngelakuin sesuatu dengan benar?"


"Kenapa pas orang lain dapet seratus gue malah setengahnya?"

"Karena diri gue sendiri yang ternyata jadi masalahnya."






Dhiren memegang dadanya erat, ada benda besar menghimpit tenggorokannya, rumit sekali mendeskripsikannya.

Susah payah dia tidak berkedip, menanggung air bening di pelupuk mata yang makin lama makin membanjir.

Pedih sekali.








***

Hi, JuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang