Begitu ngeliat gerbang sekolah yang berjarak tiga meter di depannya, Theo udah bisa nebak makhluk macam apa yang nungguin dia di belakang pager.
Aneh juga nggak kayak pagi-pagi yang biasanya, Theo menyambut pagi ini dengan kepo, menebak-nebak apa lagi yang bakalan di lakuin dua orang itu.
Lima langkah besar ke depan, Theo spontan menoleh ke arah kiri, tempat Juni sama Dhiren biasanya menunggu dan menghampirinya. Tapi setelah dipastiin, emang dari awal gak ada tanda-tanda kehadiran mereka.
Apa telat ya? Tapi biasanya juga pagi-pagi sekali mereka udah mangkal di sana, hari ini juga Theo sengaja dateng ditelatin, biar bisa ketemu kalo mereka gak sengaja dateng terlambat.
Tumben.
Theo masih berdiri mematung, menengok kanan-kiri, memastikan sekali lagi, tapi emang mereka bener-bener gak ada.
Padahal dari kemaren malem Theo pengen cepet-cepet sekolah, biar bisa denger ocehan gak bermutu mereka yang bikin paginya akhir-akhir ini penuh warna.
Theo merapatkan bibir, cowok itu melanjutkan jalannya dengan sepi dan kosong.
Kayaknya emang dari awal Theo gak perlu terbiasa sama hal-hal yang dikasih Juni dan Dhiren.
Soalnya,
Kalo sudah terbiasa, pas hilang, kosongnya bakal lebih berasa.
***
Baru satu langkah masuk ke kelasnya, Theo dibuat speechless.
Itu mah.....
Orang itu melambai-lambai, memberikan senyum lebar tapi mata mengerling menggoda, yah kayak biasanya lah.
Theo dengan langkah lebar menghampiri bangkunya, tempat orang itu duduk di sana.
Kok gak ada malunya ya?
"Met pageeehh..." Dhiren memberikan sebotol susu strawberry yang isinya tinggal setengah ke tangan Theo.
Udah kena minum setengahnya gara-gara Dhiren bosen nunggu Theo. Masalahnya dari jam lima pagi dia duduk di bangku Theo, diliatin kakel juga, untung diliatinnya pake tatapan 'wuih cakep banget nih orang' bukan tatapan hina.
Dhiren memicing, menyorot wajah Theo menyelidik. "Kenapa gak lo minum susu-nya?" tanya-nya sewot. "Lo takut ciuman secara gak langsung sama gue?" pertanyaan Dhiren makin melantur.
Theo mengkerutkan jidat, gak ngerti, selalu aja kalo ngomong sama Dhiren noh jalurnya gak se-paham, kayak beda bahasa aja.
Endingnya cowok itu jadi menatap sisa susu di botol yang dia pegang, memutar tutupnya, kemudian menegak susu sampe licin.
Dhiren yang ngeliat jadi nyengir. Seneng banget bisa merintah-merintah cowok kayak Theo.
"Ada yang penting kah?" tanya Theo to the point sambil menaruh tasnya di sebelah bangku Dhiren.
Dhiren berdecak sambil menyandarkan diri di bangku, mencari posisi enak lalu dengan santai dan lancang merangkul leher Theo yang baru aja duduk.
"Gak bisakah lo sambut gue dulu? Basa-basi kayak 'Dhiren kok muka kamu tampak rupawan hari ini?'," Dhiren mengucapkan kata-kata yang dikutip pake gaya bahasa Theo.
Theo spontan menepis tangan Dhiren, agak kurang ajar pake nepuk-nepuk pundaknya yang bekas disinggahi tangan Dhiren, kayak lagi ngebuang sial gitu.
Theo sedikit menjauhkan bangku beberapa senti dari bangku Dhiren, pengen mempertahankan diri. Tapi ya, kadang cowok kayak Dhiren begini nih yang bikin Theo lebih gampang naik darah dibanding cewek modelan Juni.
Kelakuannya gak jelas banget kayak dateng pagi-pagi ke kelasnya, ngasih susu yang tinggal setengah, terus sendirian lagi ke sini-ya, sengaja banget mau ngundang kefitnahan.
Theo memandang Dhiren males, "Intinya aja."
Dhiren mikir-mikir dulu jawabnya, diliriknya lah Theo.
"Juni sakit." Dhiren mengeluh, "Dia nelpon gue subuh-subuh katanya gue harus sambut elo dulu sebelum ke kelas, beliin susu, kasih selamat pagi sama senyum ganteng gue." jelasnya.
Theo membasahi bibir, "ya, makasih ya..." katanya pelan.
Dhiren gak bisa nahan senyum lebar, cowok itu mengangguk antusias, seneng aja gitu dapet say thank dari Theo, momen kayak gini emang enaknya diabadikan.
"Ke Juni juga, makasih gitu...."
Jeda.
"Buat semuanya.... Walaupun saya masih gak ngerti alesan kalian ngelakuin banyak hal ke saya itu tujuannya apa."
Dhiren menutup mulut. Dalam pikirannya dia berpikir hal yang sama, kenapa ya? Kenapa dia mau repot-repot ngelakuin hal se-gede ini ke orang lain selain Juni.
Matanya langsung berpusat ke wajah Theo saat cowok itu kembali membuka mulut.
"Makasih... Makasih udah buat pagi saya se-rame ini." susah payah Theo mengangkat sudut-sudut bibirnya, mempertahankan senyum kecil selama tiga detik di mukanya, membuat cowok di sebelahnya pias dan terperangah.
Theo buru-buru membuang muka, ngerasa malu sudah mengatakannya apalagi yang ngedenger manusia macam Dhiren, Theo yakin cowok itu bakal ngelebih-lebihin cerita nanti.
Sial banget, Theo ngerasa pipinya panas gitu aja.
Dari sudut mata dia ngeliat Dhiren berdiri sambil bertolak pinggang, bikin Theo jadi dagdigdug sendiri.
"Ya sama-sama." gitu ajakah responnya? oceh Theo dalam hati, ngerasa sia-sia confess perasaannya tadi.
"Makasih juga udah muji-muji kebaikan gue, sebenernya gue udah tau kebaikan yang tersimpan di hati kecil nan lembut gue, tapi makasih udah diperjelas lagi."
Theo mendatarkan wajahnya, ya selamanya orang kayak Dhiren kelakuan tetep bakalan se-random ini.
Padahal Theo nggak tau, di dalam sudut hati Dhiren tersenyum lebar.
Ini ternyata alasannya.
Jadi makhluk yang disyukuri orang lain terus dapet berkat se-indah ini.
Dhiren gak tau sejak kapan dia ngerasa inilah momen paling keren selama 17 tahun dia bernafas di bumi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, June
Teen FictionR15+ (CERITA MENGANDUNG BAHASA KASAR DAN TINDAKAN TAK BENAR, HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN.) Ada dua tipe cowok di dunia menurut Juni, yang pertama modelnya kayak Dhirendra, kedua ya kayak Theodore. Dhiren itu spesies cowok badboy wattpad yang klemer-k...