Keluarga Alif

45 3 0
                                    

Aku bukan orang yang mudah bergaul. Harus orang lain yang memulai. Jadi ketika aku bertemu orang baru yang setipe denganku (tak bisa memulai), maka aku akan butuh waktu lama untuk bisa memasuki fase 'kenal'. Bukan karena aku sombong. Aku hanya seorang introvert yang tak punya bakat bersosialisasi. Kepada siapapun.

Aku tahu keluarga Alif. Alif anak kedua dari empat bersaudara. Di keluarganya ada Kakak laki-lakinya, adik laki-lakinya, adik perempuannya, Ayah dan Ibunya, lalu Neneknya. Aku pernah bertemu keluarga Alif beberapa kali sebelumnya waktu aku ke rumahnya dan waktu keluarganya ke Bandung. Lalu sejujurnya aku cemburu.

Karena aku introvert, aku bahkan kesulitan berbaur dengan candaan keluarga Alif yang berbeda dengan bagaimana situasi di keluargaku kalau berkumpul. Bahkan bisa dibilang teman-temanku lebih tahu aku dibandingkan keluargaku mengenalku. Lalu begitulah rasa cemburu itu muncul. Alif jelas lebih cair bersama keluarganya dibandingkan aku.

Setiap kali Alif pulang ke rumahnya, rasanya seperti istri muda yang suaminya pulang ke istri tua. Aku cemburu. Sepertinya Alif rela meninggalkan komputernya di Bandung untuk menghabiskan akhir pekan dengan keluarganya. Bukan. Komputernya dan aku. Padahal selama ini semenitpun Alif tak rela waktu bermainnya ku curi. Ya, memangnya aku siapa? Aku hanya pacar yang sesungguhnya ada di lingkaran lain di kehidupan Alif.

Keluarga Alif baik. Hanya saja ada beberapa hal di keluarganya yang berkebalikan dengan keluargaku. Ada nilai nilai yang berbeda dan sedikit membuatku kesulitan menyesuaikan diri. Lalu aku yang penuh dengan rasa pesimis ini jadi semakin pesimis dengan kita. Ditambah Alif yang mungkin tak tahu dan tak mengerti, bisa dibayangkan bagaimana buruknya rasa percaya diriku. Sampai aku berpikir aku mungkin memang tak akan bisa bagaimanapun kerasnya aku mencoba.

Kata orang, menikah bukan hanya perkara dua orang yang akan menikah, tapi juga dua keluarga yang menjadi satu. Alif, aku sering ketakutan kalau-kalau nantinya jika kita berjodoh, aku masihlah orang lain bagi keluargamu. Jika itu terjadi, aku harus bagaimana? Tapi aku lebih takut lagi kalau akhirnya kita tak berjodoh. Rasanya seperti sebuah ke-sia-siaan lain di hidupku.

Lalu seserius apa kamu denganku, Lif? Melihat bagaimana kita belakangan ini, kadang aku berfikir kamu mana mungkin denganku. Aku yang begini. Memang kamu mau? Sesayang apa kamu denganku sekarang, Lif? Masih seperti dulu? Atau aku sudah menjadi satu bagian dari keterbiasaan dalam hidupmu? Aku ingin tahu. Meskipun kamu bilang, "Sayang kan nggak perlu diucapin setiap hari. Kita bukan anak SMA lagi," tapi aku suka hal-hal SMA itu. Aku suka setiap kali aku membaca kata 'Love you' di ruang obrolan kita berdua. Aku suka kalau kamu bilang, "Mikha, aku tuh sayang sama kamu tau. Jangan marah-marah terus," saat aku marah karena hal-hal sepele.

Aku tahu ini mungkin melewati batas. Tapi kalau boleh aku ingin terus denganmu. Kalau boleh aku juga ingin jalan-jalan dan menghabiskan waktu berdua dengan kamu seperti dulu. Seperti bagaimana kamu meninggalkan komputermu untuk pulang. Aku juga punya harapan aku menjadi pulangmu yang kedua.

125 miles ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang