Entah bagaimana aku dan Alif kembali normal. Mungkin menutup semua akun Instagram, menon-aktifkan Twitter, mengunci alamat Blog, lalu berhenti menggunakan Line membuatku sedikit lebih tenang karena kembali tak tahu apa-apa tentang Alif. Aku berhenti mencari tahu. Alif yang ku tahu hanya Alif yang setiap hari berbincang denganku di Whatsapp. Aku tidak lagi marah marah mencari kalau dia menghilang. Antara lelah dan takut.
Pertengkaranku dengan Alif kemarin membuatku sempat merasa gila. Aku bahkan mencari-cari aplikasi untuk bisa berkonsultasi gratis dengan psikiater. Atau setidaknya menemukan orang yang setipe denganku. Yang sama gilanya. Aku juga mencari tahu tentang beberapa penyakit mental seperti skizofrenia. Aku merasa benar-benar gila secara harfiah. Mungkin hanya aku saja yang begitu saat punya pacar. Hanya aku yang selalu ingin dikabari dan ingin jadi prioritas. Setidaknya dibandingkan dengan media sosial. Mungkin hanya aku yang berlebihan dalam menjalin hubungan. Atau aku memang sangat haus perhatian?
Hari itu, malam aku putus tapi tidak jadi dengan Alif, aku menemukan 7 Cups. Lalu aku bercerita kepada seseorang yang menyebut diri mereka Listener. Tapi yang kudapat adalah, "Oh dear, you are over possessive, " dibandingkan ketenangan. Dan setelah sebelumnya aku mogok makan selama dua hari, malam itu aku juga tidak tidur. Aku terus menyalahkan diri dan merasa ada yang salah dengan diriku. Hanya tak menemukan orang yang tepat untuk mengerti.
Setelah merasa gila dan dianggap gila, aku menyimpan semuanya sendiri. Mungkin hanya menulis yang bisa menenangkan seorang Mikha. Mungkin hanya dengan begitu, aku bisa merasa seseorang mendengarkanku. Lalu mengerti aku. Bahkan untuk bilang aku rindu Alif pun, aku masih merasa tak pantas sampai detik ini. Aku merasa Alif mana mungkin merasakan sayang dan rindu yang sama. Aku sampai merasa beruntung Alif membatalkan keputusannya. Aku hanya beruntung. Bukan karena Alif juga tak ingin kehilanganku.
Aku juga ingin mencintai dengan normal. Seperti mereka yang terlihat selalu bahagia. Berbincang selayaknya dua orang yang saling sayang. Bertukar perhatian dan membuat orang-orang iri. Tapi Alif selalu bilang itu bukan dia. Dan setelah aku meledak kemarin, aku berhenti berharap dimengerti. Biar aku fokus menunjukkan pada Alif bagaimana perasaanku, sambil menyembunyikan keinginanku dalam-dalam. Termasuk menghindari pembicaraan tentang masa depan kita, hal yang biasa kita bicarakan secara acak. Sejak hari itu aku mencoba sadar diri. Alif mana mungkin ingin menghabiskan sisa hidupnya yang berharga dengan orang sepertiku.
Sebenarnya aku ingin diyakinkan. Tapi aku akan mencoba mengerti kalau Alif bukan orang seperti itu. Aku menyimpan semuanya. Keinginanku, rasa ingin tahuku, perasaanku, biar Alif tak perlu tahu. Aku bahkan tak punya keyakinan apa pun tentang semuanya. Seperti hari itu. Hari dimana aku berharap tanpa diberi kepastian, tapi juga tak berani meminta. Hanya mengikuti arus dan harus pasrah ketika ditinggalkan. Setidaknya aku mencoba menjadi seperti yang Alif mau. Meskipun aku masih merasa tidak normal sampai hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
125 miles Apart
RomantizmMikha yang tak terbiasa LDR dan memiliki trust issues terhadap cowok, akhirnya harus menghadapi beratnya hubungan berjarak dengan Alif. Padahal Mikha masih belum bisa percaya pada Alif meskipun hubungan mereka sudah lebih dari setahun. Apalagi Alif...