Menatap Ratap

14 0 0
                                    

Di jantung kota metropolitan
aku termenung di sudut kamar
meramu pertanyaan fana,
kapan engkau pulang ke Yogyakarta?
Ku beri waktu hingga senja temaram.  

Dikala penantian menyayat raga
dikala raga menjadi gurauan dewa-dewi,
jadi mitologi paradoks kehadiran-kematian.
Bergelimang darah-darah tanya di mejaku,
kapan engkau pulang ke Yogyakarta?
Ku beri waktu hingga senja temaram.  

Dalam ilusi pujangga bodoh,
namamu, waktu,
sungguh masuk di akal.
Jeritanmu semakin merajalela.
Runtuhan asa jadi puing-puing derita,
jadi uraian bulir-bulir dusta,
lantas cekal mengamini mitos-mitos kehadiran Anda.
Kamu takkan pulang ke Yogyakarta.  

Sudah cukup aku menanti.
Aku cukup berenang saja dalam api-api angkara.
Dijilat-jilat lidah-lidah api waktu yang dingin.
Dingin, bagai tangisan siren.
Menutup senja temaram
dengan kesedihan absolut;
ku beri nama siksaan ini, kastrasi fantasi.  

Oh.. Engkau yang Maha Dashyat, Maha Rahim, dan Maha Amor
ke dalam sublim-Mu kuserahkan ratapanku!

AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang