Gabriel #1

428 46 11
                                    

"These children have a greater risk of experiencing symptoms of depression or anxiety until suicide when they are teenag—"

Aku mematikan layar televisi sebelum Dr Marie-Claude Geoffroy menyelesaikan kalimatnya. Akhir-akhir ini wajah profesor dari McGill Group sering muncul di layar televisi. Pasti tentang kasus bully lagi.

Aku berjalan ke arah kulkas dengan langkah sempoyongan dan mata setengah terpejam. Menggeliat dan menguap lebar sebentar sebelum mengambil botol susu dari dalamnya, kemudian menenggak habis sambil bersandar di meja dapur.

"Sudah bangun? Mau dibuatkan pancake sebelum Mea berangkat?" —Mea dari Mère yang artinya Ibu dalam bahasa Prancis.

"No need. I am not a kid anymore."

"Ini bukan di Boston, Gab—"

"Aku tau, Mea. Bahasa perancisku baik-baik saja, oke?" Kali ini aku membalas percakapan Mea dengan bahasa Prancis.

"Tidak terjadi sesuatu yang buruk di sekolah kan?"

Aku menggeleng lemah. Aku tidak bohong tapi juga tidak sepenuhnya jujur. Sudah lama sejak terakhir kali aku merasa ada seseorang yang sedang mengawasiku. Saat masih di Boston, aku sudah merasa sedang diawasi. Setelah kematian nenek, aku kembali ke Kanada karena Mea tidak ingin aku tinggal sendiri disana. Baru satu tahun tinggal bersama Mea aku kembali merasa diawasi.

"Mea berangkat dulu yah, sayang." Mea mencium pipiku tiba-tiba membuatku tidak bisa menghindar. "Nanti Mea pulangnya agak telat, kamu makan malam duluan aja, oke?"

"Iya, Mea." Aku mengusap pipiku sambil merengut kesal. Inilah yang membuatku tidak ingin tinggal bersama Mea. Mea selalu saja memperlakukanku seperti anak kecil. Yah, memang kadang-kadang kelakuan seperti anak-anak sih.

Tidak lama setelah Mea pergi, aku memaksakan diri berangkat sekolah. Mataku berat, kepalaku sakit, rasanya aku tidak pernah lagi tidur dengan benar semenjak pulang ke rumah. Selalu bermimpi aneh dan—

Aku mengusap bibirku tanpa sadar.

Yang semalam itu mimpi atau bukan yah?

Seseorang menepuk pundakku keras membuatku terperanjat kaget. Aku hampir saja terjengkang. Sialan!

"Gaby. Selamat pagi! Kaget?" Orang itu tertawa keras tanpa rasa bersalah.

Aku mengelus dada sambil mengutuk. Terlalu kaget sampai tidak bisa berkata-kata.

"Marah—"

Aku berjalan cepat mendahuluinya dengan kaki menghentak-hentak.

"Ah, ternyata?"

Dia berlari kecil mengejarku dan berusaha menjajari langkahku.

Aku menurunkan bahu dan menengok kearahnya dengan muka merengut. "Misya,  kita sahabat kan? Kamu tau aku tidak pernah bohong kan?"

"Kenapa pertanyaannya kok tiba-tiba?"

"Jawab aja, Mis—"

"Iya, aku mengerti." Tukasnya cepat sambil mendorong wajahku menjauh.

Aku menatap ke depan dengan mata menerawang. "Kamu bakalan percaya kalau aku bilang semalem aku liat setan di kamarku kan?"

"Mimpi?"

Aku menggeleng lemah. "Nyata."

"Aku bingung mau komentar apa, tapi kamu yakin bukan mimpi? Ingat, kemarin sore kita abis nonton Devil's Kiss kan? Eh? Ada apa tuh ramai-ramai depan sekolah?"

Aku ikut melihat ke arah gerbang. Seorang cowok sedang bersandar dengan dikerumuni para cewek yang berjalan masuk.

"Sekolah kita kedatangan artis? Yuk, kita juga cepetan ikutan."

Aku hanya pasrah ketika Misya menarik tanganku dan berjalan ke arah kerumunan itu.

Cowok itu menoleh kearahku. Mata kami bertemu.

Loh?

Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan mata itu. Pernah bertemu dimana?

"Kenapa, Gab?" Tanya Misya ketika aku menghentikan langkahku. "Eh, dia lihat kesini, dia jalan kesini, kesini kan yah?"

Aku mengernyitkan kening marah sekaligus heran ketika cowok itu melepas pegangan Misya di tanganku dengan kasar dan tiba-tiba menarik pinggangku mendekat.

"Ke-te-mu." Cowok itu tersenyum tipis.

"A—"

Cowok itu menempelkan bibirnya di bibirku dengan lembut.

Aku terperanjat kaget dan menginjak kakinya keras-keras. Mukaku pasti sudah merah karena menahan marah.

"A-apa?"

Cowok itu —sekali lagi— tersenyum tipis.

Fallen Archangel ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang