Kini aku membuat detak waktu itu bergetar mundur. Mengenang masa dimana aku belajar untuk mengerti arti keyakinan dan keteguhan. Aku merekamnya dalam latar suasana oranye di saat lembayung senja mengintip malu.
Sore itu manusia masih terbuai dengan kekhusuyu’an menghadap Rabb Yang Maha Hidup, Allah, satu – satunya Ilah yang berhak disembah. Meletakkan wajah di tanah hanya untuk tuhan – tuhan palsu yang tidak mampu sekedar membunuh lalat yang hadir di depan batang hidungnya sendiri adalah bentuk ketidakadilan yang agung. Bagaimana dikatakan tidak adil? Sementara dia menghinakan dirinya sendiri untuk bersujud pada selain Allah, bersamaan dengan itu ia telah meletakkan ibadah yang sakral kepada yang tidak berhak mendapatkannya.
Hatiku tersenyum tenang karena Allah telah mengutus Rasulnya untuk membebaskan manusia dari peribadahan kepada makhluk menuju peribadahan kepada Allah Sang Khalik. Hingga aku kini bisa melihat manusia berbondong – bondong berdo’a, meminta kepada Allah Yang Maha Pemurah.
Ketika itu aku sudah mulai mengenakan secarik kain untuk menutup wajahku. Tak ada motif aneh – aneh, hanya ingin membuktikan kepada Rabbku bahwa aku mencintai rasulnya dan ingin mendapatkan cinta Rabbku. Meskipun sebenarnya cintaku pada nabiku pun belum seberapa. Seperempat atom pun tidak, mungkin. Aku tak mampu menebak hatiku, dia berada diantara dua jemari Allah. Mudah bagi Allah untuk mengubahnya nanti atau saat ini. Ya Rabb, teguhkan aku diatas agamamu.
Aku memang sudah berencana menggunakan cadar sejak awal masuk perkuliahan tepatnya di UISU Pematang Siantar. Tetapi baru terealisasi saat UAS semeter 1. Kala itu kekaguman menyelimuti hatiku saat melihat muslimah mengenakan cadar. Dalam benakku mereka terlihat sangat anggun sekali. Bajunya itu seperti gaun indah dari surga. Mereka terlihat begitu mempesona dan berharga. Tentunya hanya Allah yang dapat membeli mereka, bukan dengan rupiah. Tapi dengan surga, insya Allah.
Sebelum – sebelumnya, aku juga memiliki presepsi aneh dengan mereka yang bercadar. Aku termakan oleh isu media. Dan aku sedikit meremehkan mereka Ekstrim, golongan fanatik, atau istri teroris. Siapa yang menjamin media dapat bersikap objektif dalam melihat persoalan? Sampai suatu ketika Allah menakdirkanku untuk mengikuti sebuah halaqah mujahidah di kampus.
Satu hal yang membuatku terpikat adalah keramahan dan senyum manisnya yang menyejukkan untuk saudarinya. Aku kemudian membandingkannya dengan wanita – wanita lain yang mengumbar kecantikannya , awalnya kupikir itu keren, setelah ini aku melihat wanita yang menjaga kecantikannya untuk keluarga dan saudarinya lebih terhormat.
Saat aku mengikuti halaqah tersebut banyak ilmu yg kudapat dari kakak kakak senior yang sangat ramah, Mulai saat itu, hancurlah karang paradigma aneh yang bersemayam di otakku. Ternyata mereka tidaklah fanatik! Tampaknya, kita terburu buru mengambil kesimpulan sebelum meneliti dan menimbang. Itulah mengapa, Allah, dalam surat Al-Hujurot ayat 6, menyuruh kita untuk memahami sebuah persoalan terlebih dahulu baru mengambil sikap.
“Wahai orang – orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepadamu dengan membawa berita, maka carilah berita itu supaya kamu (tidak) menimpakan tuduhan kepada suatu kaum dengan kebodohan, akibatnya kamu akan menyesal terhadap apa yang kamu perbuat.”Mengenakan cadar bagiku merupakan hadiah terindah dari sekian hadiah terindah lainnya yang Allah berikan padaku. Itulah mengapa aku begitu percaya diri dan menganggap bagiku ini perkara mudah. Tak pernah terbesit di pikiranku bahwa kain mungil ini akan membawa presepsi salah pada masyarakat sekitarku, khususnya teman teman akrab ku dikampus.
Namun pada saat aku hendak pulang naik angkot ada seorang kakak2 yg mengatakan "ihh, ngapain sih makek makek penutup muka begitu, hati masik munafik tapi sok uda fanatik, malah kayak ninja sawit!!"
Tentu saja aku tersentak kaget. Orang yang mengatakan itu tak lain adalah seorang muslimah, ia pun mengenakan kerudung juga. Dadaku terasa panas, air mataku ingin keluar. Tak ingin dibilang cengeng, aku menahannya.Itu adalah ungkapan yg keluar dari mulut seorang wanita muslimah yg menghina sesama kaumnya. jika saja Allah tidak merahmatiku, mungkin akan membuatku tersungkur dengan mata terbelalak. Tetapi aku berusaha tersenyum di balik cadarku. Meskipun mereka tidak melihat bahwa aku tersenyum, setidaknya mataku menyiratkan hal demikian.
Aku tidak memaksa kalian untuk berhenti mengolok – olokku. Apalah hargaku ini. Aku hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan. Tetapi, aku benar – benar takut saat engkau mengolok – olok sunnah nabimu sendiri. Aku takut itu akan membawa petaka bagimu.
Kata kata itu terngiang di otakku, mengapa tak kujawab ketika kakak kakak itu menghujat ku.
Tiba tiba ibuku mengelus pundakku "sing istiqomah ya, ndok.."
Kata- kata itu masih terngiang – ngiang dalam benakku bersamaan dengan menghitamnya awa
Istiqamah dan perputaran waktu seperti sebuah garis yang berbanding terbalik. Semakin sering jarum jam mengulang putarannya, semakin sulit mempertahankan keistiqamahan agar tidak terus mengempis dan terus mengempis. Berapa banyak orang yang keluar dari lingkaran keimanannya karena tak sanggup memegang bara kesitiqamahan di tangannya. Sungguh tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah. Entahlah! Aku sendiri masih ragu, mungkinkah aku dapat melakukannya? dan bergulirnya malam.Sampai disini dulu yaa readers shalih/ah cerita dan kupasan tuntas mengenai aqidah islam, kisah keseharian ana, dan amalan sunnah islam. Semoga readers selalu istiqomah, dan semoga tulisan ana dapat membantu hijrah readers sekalian🙏 staytune terus ya shalihah❤
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh