"Jangan pernah pergi dari hidupku, Seohyun. Sekali kau pergi kau akan menyesal karena telah melepasku begitu saja."
"Kau yang melepasku, bukan aku."
"Aku tidak pernah melepasmu, kau yang memilih pergi."
"Aku pergi karena kau lebih rela aku yang pergi dibandingkan dengan karirmu itu."
"Aku hanya ingin mengejar impianku."
"Dengan melepaskanku?"
Hening.
Daun-daun berguguran. Angin semilir menerbangkan anakan rambut Seohyun. Chanyeol membenamkan tangannya di dalam saku parkanya. Dia menatap lurus ke depan. Wajahnya penuh kebimbangan.
Bagaimana caranya meyakinkan wanita ini bahwa aku mencintainya selalu. Aku hanya ingin dia mendukungku bukan malah memilih pergi hanya karena aku mengejar impianku.
"Kau yakin memilih pergi, Seohyun?"
"Aku selalu yakin dengan pilihanku."
"Apa cinta tidak bisa membuatmu bertahan denganku?"
"Aku tidak akan membiarkan cinta itu ada karena orang yang aku cintai memilih hal yang tidak aku sukai."
"Baiklah kalau itu maumu. Pergilah sejauh mungkin dariku agar aku juga bisa melupakanmu dan berhenti mencintaimu."
Tanpa berkata lagi, Seohyun meninggalkan Chanyeol tanpa melihatnya. Dia memilih pergi dari kehidupan Park Chanyeol. Seohyun tahu betapa beratnya menjadi seorang publik figure di Korea. Dia hanya tidak ingin melihat Chanyeol berubah. Dia ingin Chanyeol tetap menjadi Park Chanyeol-nya yang biasa. Chanyeol yang kehidupan pribadinya tidak akan dikorek-korek media.
Chanyeol menatap punggung itu hingga punggung Seohyun lenyap dari pandangan matanya. Dia hanya berpikir kenapa Seohyun begitu membenci profesi sebagai public figure.
Sekarang, Seohyun adalah sebuah kenangan. Terlalu manis diingat sekaligus terlalu pahit namun selalu menjadi candu. Dia adalah mantan. Cinta menyatukan mereka dan perbedaan prinsip memisahkan mereka.
***
Chanyeol terbangun dari kenangan pahit itu setelah mendengar suara Tiffany yang selalu menggagu gendang telinganya. Suara cempreng itu terus saja berceloteh seakan-akan semua manusia menyukai suaranya.
"Kau paham, kan, Park Chanyeol. Ingat, ideku selalu cemerlang."
"Idemu memang cemerlang, tapi otakmu kurang bagus untuk ide secemerlang itu."
Dahi Tiffany mengernyit. "Apa maksudmu, Park Chanyeol?" katanya seraya menyilangkan kedua tangannya di perut.
"Kau meminta aku berkolaborasi dengan penyanyi yang sekarang sedang turun pamornya? Itu ide cemerlang yang paling gila. Kau harusnya memintaku berkolaborasi dengan penyanyi yang sedang naik daun."
Tiffany adalah manajer Park Chanyeol. Wanita berusia 28 tahun itu memang kadang agak absurd. Tapi, Tiffany selalu berada di depan Chanyeol kalau-kalau ada masalah dengan Chanyeol. Seperti berita panas tahun lalu yang menyebut Chanyeol mengajak salah satu model papan atas ke hotel. Dan sang model menuntut Chanyeol. Padahal yang sebenarnya adalah model sinting itu yang mengajak Chanyeol ke hotel dan tentu saja Chanyeol menolaknya. Dan Tiffany lah yang maju dan berbicara ke media. Dia bahkan berani menantang si model sinting itu. Karena itulah Chanyeol menyayangi Tiffany dan menganggapnya sebagai nunanya sendiri.
"Tapi dia memiliki banyak fans, lho."
Chanyeol mengambil minuman kaleng yang ada di atas mejanya dan menenggaknya sekaligus. "Bisa tidak kalau aku menunda pembuatan album baruku sampai Luhan sembuh."
Tiffany mendekati Chanyeol, dia menatap wajah pria itu dengan tatapan angker. "Kenapa harus menunggu Luhan sembuh?"
"Karena selama Luhan sakit, adiknya yang akan menajdi asistenku. Dan aku ingin punya banyak waktu berduaan dengan adik Luhan."
"Apa?!" suara Tiffany nyaris membuat Chanyeol terlonjak.
"Kau gila atau bagaimana sih?" Tiffany tidak mengerti dengan otak Chanyeol, sama seperti Chanyeol tidak mengerti dengan otak Tiffany.
"Aku gila. Karena aku mulai menyadari kalau aku masih mencintai Seohyun."
"Kau masih mencintai adik Luhan? Aku tidak mengerti, sungguh."
"Dia mantan kekasihku."
***
Kalo komentarnya bisa sampai 30++ akan cepat diposting ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Love
Fanfictioncerita diprivate follow terlebih dahulu ya untuk bisa membaca keseluruhan cerita ^^