-- -- -- -- -- --
"Cepatlah Vanessa!" Lintang berjalan tergopoh-gopoh menuju gerbang rumah Vanessa. Mereka terlambat. Lintang memang sudah membawa baju ganti kemarin, karena ia yakin pasti ia akan menginap di rumah Vanessa.
"Lintang, ada bercak darah disini!" Vanessa berteriak dari dalam rumah. Terang saja tidak terdengar oleh Lintang, rumah ini luas sekali.
Vanessa terdiam sebentar menatapnya lalu tak menghiraukan bercak darah tersebut, ia bisa terlambat sekolah nanti. Nanti saja, pulang sekolah, pikirnya.
"Jangan berlari, itu akan banyak menguras tenaga. Lagipula kita memang sudah terlambat," Vanessa mengingatkan.
Lintang berhenti berlari. Ia memegang perut bawah sebelah kanannya, karena ia memang tidak suka berolahraga. Mereka berjalan keluar gang menuju jalan raya.
"Kau orang kaya, kenapa tidak memperkerjakan supir saja?"
Vanessa tersenyum kecut, "mungkin dulu pernah, tapi mereka semua tidak betah kare--"
"Maaf aku tidak bermaksud mengungkitnya," Lintang segera memotong ucapan Vanessa. Lintang barusan lupa akan kehidupan Vanessa yang terkesan-- suram.
"Tidak apa-apa,"
Lintang mengangguk. Namun ia tahu bahwa Vanessa apa-apa dengan ini. Senyuman di bibirnya terlihat bergetar. Ia menahan tangisnya. Lintang merasa bersalah, namun bagaimana lagi?
"Lebih baik kita menunggu angkutan umum saja daripada berjalan ke halte bus," Lintang berdiri di pinggir jalan dan memperbaiki letak kacamatanya, itu sudah menjadi kebiasaannya.
Selama ini Vanessa selalu berjalan ke halte bus karena angkutan umum jarang sekali lewat sini, walau sesekalinya ada, itu harus menunggu lama. Ia lebih baik berjalan ke halte bus daripada berdiri di pinggir jalan untuk menunggu yang tidak pasti.
Mungkin hari ini berpihak pada mereka, baru saja mereka menetap di pinggir jalan, angkutan umum sudah terlihat dari kejauhan. Lantas Lintang mengulurkan tangannya menuju jalan.
Butuh waktu cukup lama untuk sampai ke sekolah. Mereka berdesakan dengan para pedagang pasar. Namun setelah angkutan umum ini melewati pasar, hanya tersisa mereka berdua saja di dalamnya.
"Astaga, ponselku tertinggal di rumahmu," Lintang membuka percakapan.
"Aku juga melupakannya. Dan mie itu dan lagi jajan kucing itu," Vanessa menatap Lintang penuh harap.
"Tidak-tidak, jangan bilang kita kembali ke rumahmu. Itu tidak lucu,"
"Bukan itu maksudku, wajahku memang terlihat memelas jika sedang bingung," Vanessa menunjuk wajahnya sendiri, membuat Lintang menahan tawanya.
"Whoa!" mereka berteriak. Angkutan umum ini mengerem mendadak. Ternyata mereka sudah sampai di sekolah mereka dengan gerbang yang tertutup.
Setelah turun dan membayar, mereka berdiri di luar gerbang sekolah.
"Kau tahu apa yang kurang?" Vanessa bertanya pada Lintang.
"Tidak ada satpam,"
"Hey bukannya itu Gabriel?" Lintang menunjuk pinggir lapangan basket. Gabriel tengah berjalan santai. Sepertinya ia bingung mencari tujuan. Tak lama, muncul satpam yang terlihat sedang mengejarnya dan nampak kebingungan, Gabriel begitu gesit bersembunyi.
"Dia membolos lagi," Vanessa bergumam, untuk dirinya sendiri.
"Lebih baik kita pulang saja sekarang,"
"Kau putus asa? Serahkan padaku!" Vanessa menepuk-nepuk dadanya.
"Jika kau menemukan batu, beritahu aku!" Vanessa berjalan kesana-kemari bermaksud untuk mencari batu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is This Love?
Teen FictionVanessa, gadis remaja yang rapuh jiwanya. Terjerat dalam pedihnya kenyataan dunia. Ia hanya bisa menangis dalam diam. Hingga ia menemukan seseorang yang mampu mengubah hidupnya, mampu membuatnya merasakan kehangatan yang sudah lama tak dirasakannya...