5 - Pulang (1)

47 14 3
                                    

------

Gabriel mengacak rambutnya. Seharusnya ia tidak mengatakannya. Itu semua di luar kendalinya. Vanessa baru tahu jika Gabriel tinggal di apartemen. Ia sudah berhenti menangis, namun dadanya masih terasa sesak, memaksanya untuk menumpahkan air matanya kembali.

Vanessa tidak mengerti mengapa ia harus mengikuti Gabriel seperti ini. Ia tidak bisa berpikir tadi. Sekarang, ia duduk dengan canggung di sofa kamar apartemen Gabriel, sedangkan Gabriel meninggalkan Vanessa menuju kamarnya untuk mengganti pakaian sekolahnya. Ruangan ini cukup besar untuk disebut kamar apartemen.

Gabriel menatap dirinya di pantulan cermin. Entah sudah berapa kali ia mengacak rambutnya. Ada apa dengan dirinya? Ia hanya menemukan Vanessa yang tengah menangis dan ia hampir gila karena ini.

'Sial! Mengapa aku mengatakannya!'

Setelah mengganti pakaiannya, Gabriel menemui Vanessa. Keduanya terdiam dengan jalan pikiran masing-masing. Tiba-tiba saja keheningan dipecahkan dengan suara dering ponsel Gabriel. Dengan gesit Gabriel mengambil ponselnya dari dalam kantong celananya. Ini kesempatan bagus, ia bisa menghindari Vanessa sejenak dari kecanggungan ini, ia berjalan ke luar pintu apartemen untuk menerima panggilan di ponselnya.

"Syukurlah nomormu aktif, aku menghubungi nomor orang-orang terdekat Vanessa tetapi mereka tidak mengangkatnya. Gabriel, bagaimana ini?! Vanessa menghilang, dia ... tadi ... hiks ...."

Gabriel mengerutkan dahinya, ia mencoba mengangkat suara tetapi tangisan orang itu semakin menjadi.

"Gabriel, mengapa kau diam saja," ucapnya sambil terisak.

"Tenanglah, Vanessa bersamaku, ia sekarang—"

"Katakan kalian dimana?! Aku akan kesana dan menjelaskan semuanya, dan aku juga butuh penjelasan darimu."

Gabriel memberikan alamat apartemennya lalu telepon diputuskan sepihak. Dengan ragu ia kembali masuk ke dalam apartemennya. Ia menghembuskan napas lega ketika ia melihat Vanessa tertidur di sofa, setidaknya ia bisa menghindari kontak mata dari Vanessa dan ia tak mau membahas itu sekarang.

Gabriel membopong Vanessa menuju kamarnya. Ia menatap iba pada Vanessa, karena ia yakin beban yang dipikul Vanessa sangat berat tetapi ia tidak pernah memperlihatkannya sehingga ia terlihat sebagai sosok yang amat ceria.

Gabriel merasa lelah, lalu ia memutuskan untuk tidur di sebelah Vanessa.

🎡🎡🎡

Gabriel terbangun dari tidurnya. Tidak ada Vanessa. Sudah berapa lama ia tertidur? Ini sudah jam sepuluh pagi, cukup lama. Ia mendengar suara orang cekikikan dari depan. Gabriel mengusap wajahnya lalu turun dari kasurnya. Ternyata sudah ada Lintang di sana, dan Vanessa terlihat membaik. Ia sudah bisa tertawa denganmata sembabnya.

"Hey, Gabriel!"

Gabriel yang semula ingin membasuh muka menghetikan langkahnya.

"Bukannya kau yang ingin mencicipi mie ini," Lintang membuka tas kain bawaannya, ia mengeluarkan wadah bekal yang selalu di bawa oleh Vanessa ke sekolah. Lintang menaik turunkan alisnya dan tersenyum nakal untuk menggoda Gabriel, sedangkan Vanessa mencoba tidak menatap Gabriel.

Gabriel mengalihkan pandangannya lalu berjalan menuju kamar mandi.

"Sudah kubilang, dia yang mengirim pesan itu," Lintang tertawa.

Gabriel kembali dari kamar mandi, ia merasa jengah. "Apa kalian tidak malu memasuki apartemen laki-laki?" Gabriel sudah mendapati dirinya kembali, ia tidak merasakan perasaan yang tadi, aura dinginnya menguat.

"Kau yang sudah membawa Vanessa ke sini, dan aku hanya memastikan bahwa dia baik-baik saja! Harusnya aku tahu jika kau memang lelaki tidak baik," Lintang berdiri dari tempat duduknya, memandang Gabriel dengan sengit.

"Cih, aku hanya tidak tega melihatnya menangis seperti itu."

Vanessa tersenyum getir, ia menunduk. Ia tidak boleh menaruh perasaan pada Gabriel. Karena Gabriel tidak mungkin menyukai perempuan sepertinya. Ia terlalu cengeng, terlalu egois, dan terlalu merepotkan. Wajar saja Gabriel menghibur dirinya seperti itu agar ia merasa lebih baik.

Vanessa menarik lengan baju Lintang, ia ingin pergi dari sini. Lintang mengerti, tanpa mengatakan apa pun ia keluar dari apartemen Gabriel bersama Vanessa.

Setelah Lintang dan Vanessa keluar dari apartemen Gabriel, Gabriel cukup menyesali perbuatannya tadi. Tidak, ia hanya tidak suka jika orang lain yang tahu akan perasaannya. Tapi mungkin tidak apa untuk saat ini, ia dibenci Vanessa atau pun tidak, yang penting perasaan ini hanya dia sendiri yang mengetahuinya.

Gabriel berjalan ke arah tas kain yang dibawa Lintang tadi, Lintang lupa membawanya ke luar. Lalu Gabriel mengeluarkan isinya. Jajan kucing itu. Ia tersenyum kecil saat mengingat kejadian di minimarket kemarin. Mungkin ia akan menjauhi Vanessa mulai saat ini.

Vanessa dan Lintang berjalan menuruni tangga apartemen, karena kamar Gabriel berada di lantai dua, mereka tidak perlu memakai lift.

"Aku tadi pergi ke rumahmu untuk mengambil ponselku dan ponselmu," Lintang menyodorkan ponsel Vanessa. "Aku tidak melihat mobil Ibumu, berarti tadi dia tidak pulang ke rumah."

Vanessa mengangguk, menahan kembali air matanya yang akan tumpah.

"Apa kau ingin pulang?" Lintang bertanya dengan hati-hati. Mungkin saja Vanessa tidak ingin bertemu Ibunya yang dapat pulang sewaktu-waktu.

"Bisakah kita berkunjung ke rumahmu dulu?"

"Aku tidak keberatan, tapi ini bisa memperkeruh masalah," Lintang melanjutkan.

Vanessa terlihat berpikir, "baiklah."

🎡🎡🎡

Ketika Vanessa sampai di rumahnya, memang tidak ada siapa-siapa. Ia berjalan masuk. Bercak darah tadi pagi masih ada di sana. Terlihat sudah menyatu dengan lantai karena mengering. Saat Vanessa akan menaiki lantai dua untuk menuju ke kamarnya, ia terhenti sejenak di depan sebuah ruangan. Pintunya terbuka sedikit, biasanya pintu ini ditutup rapat dan Vanessa tidak pernah ingin masuk ke dalamnya.

Terdengar suara decitan pintu ketika Vanessa membuka pintu itu lebih lebar. Vanessa tertegun. Sudah berapa lama ia tidak memasuki ruangan ini? Sangat luas dan hanya terdapat sebuah piano besar di pojoknya. Ia mengusap air matanya yang kembali terjatuh.

"Mama, aku juga ingin bermain piano!" gadis kecil tersebut berlari memasuki sebuah ruangan menuju seorang wanita yang sedang memainkan piano.

"Dulu Papamu juga senang bermain piano, Mama belajar darinya," wanita itu tersenyum saat gadis kecil tersebut berusaha naik di atas pangkuannya,

"Begitu? Kalau begitu aku ingin seperti Papa!"

Mereka berdua lalu larut bersama dentingan lembut piano tersebut.

Vanessa mendekati piano tersebut. Ia mengusap tuts piano yang berdebu dengan tangannya. 'Apa Mama baru saja memasuki ruangan ini?'

Ia menarik bangku piano dari bawah lalu membuka gorden jendela yang sangat besar sebelum duduk di bangku tersebut. Semuanya berdebu. Tapi Vanessa tidak peduli. Ia memainkan tangannya di atas piano tersebut.

"Bukan seperti itu, sayang. Kau harus memainkannya dengan penuh perasaan."

"Begini, lalu begini."

"Sepertinya kau lelah, kita bisa mempelajarinya lagi besok."

"Kau hebat, mirip seperti Papamu."

Vanessa mengingat seluruh kata-kata itu. Kata yang selalu dilontarkan oleh Ibunya ketika ia belajar bermain piano. Ia tersenyum dalam tangisnya, tetap memainkan piano yang masih berdebu itu.

------

Is This Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang