------
Vanessa terlonjak seketika, "Ma-Mama?!"
Vanessa menatap pisau itu. Ada darah di sana. Sekarang ia mengerti, mengapa ada bercak darah di depan. Ia mencoba mendekati Ibunya, dengan takut ia berjalan menuju pintu, lalu mencoba mengambil alih pisau tersebut. Namun, Ibunya berjalan maju sambil mengangkat pisaunya membuat Vanessa berjalan mundur. Ia terus berjalan mundur perlahan tanpa berani mengeluarkan suara. Ia berhenti bergerak saat ia sudah mencapai pojok, tempat piano itu berada. Tanpa sengaja ia menyenggol piano itu dari belakang hingga menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga.
Pisau itu kemudian dijatuhkan seketika. Hampir mengenai kaki Vanessa. Napasnya sudah tidak teratur, lalu Ibunya berjalan keluar. "Jangan pernah bermain piano," ungkapnya dingin sebelum benar-benar keluar meninggalkan Vanessa.
Vanessa mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ia masih gemetar di tempatnya. Ia tidak bisa menangis sekarang, ia takut. Sangat takut. Dengan tangan yang masih gemetar, ia meraih pisau yang sudah dinodai darah tersebut. Ibunya melukai dirinya sendiri. Dirinya saja ia lukai, bagaimana dengan orang lain? Hati Vanessa berkecamuk setelah menegakkan tubuhnya yang menunduk saat mengambil pisau tersebut. Ia menggenggam pisau itu kuat-kuat dengan kedua tangannya. "Papa..."
Mengapa apapun yang ia lakukan selalu salah? Bukankah dulu Ibunya juga menyukai piano? Mungkin ia tak ingin mengenang Papanya kembali.
Vanessa harus memperbaiki ini semua, setelah mengumpulkan keberanian yang cukup lama, ia keluar dari ruangan tersebut lantas berteriak memanggil Ibunya. Tapi nihil, berapa kali pun Vanessa mencoba memanggil, tetap tidak ada sahutan yang menandakan Ibunya sudah pergi. Vanessa melempar pisau tersebut ke arah jendela, tapi hanya menimbulkan bunyi. Ia putus asa, terduduk di ruang depan saat ponselnya tiba-tiba berdering.
Dengan lemas ia mengambil ponsel yang berada di kantongnya. Itu Ibunya. Nomor Ibunya. Vanessa sedikit terkejut, Ibunya tidak pernah menelponnya, bahkan saat seperti ini mungkin ia sudah tidak sudi menatap wajah Vanessa lagi. Ia tidak dapat berpikir jernih untuk saat ini.
"Mama..." ia mencoba menstabilkan suaranya yang parau, karena sudah terlalu banyak menangis.
"Maaf, apakah ini anak korban?"
Hati Vanessa mencelos begitu saja. Ia mengatupkan bibirnya rapat saat mendengar kata korban di seberang sana.
"Ah? A-apa yang terjadi?" Vanessa berdiri dan berlari ke depan rumah untuk bersiap-siap ke tempat tujuan. Ia yakin ada suatu hal yang terjadi dengan Ibunya.
"Begini, aku kebetulan melihatnya secara langsung. Korban mengendarai mobilnya di atas kecepatan rata-rata, namun ia seperti orang mabuk dan mengarahkan mobilnya tidak tentu arah hingga akhirnya ia menabrak mobil lainnya di perempatan. Sudah banyak orang di sini, mereka sudah menelpon pihak rumah sakit dan ambulans akan segera datang."
Vanessa menelan ludah dan bergegas mengenakan sandalnya tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Banyak sekali yang terjadi hari ini, seolah-olah Tuhan telah menakdirkan Vanessa untuk hidup menderita seperti ini.
"Halo? Kejadiannya berada di perempatan dekat toko Saoya. Kau tahu itu?"
"Iya," Vanessa hanya menjawab singkat dan berjalan kaki keluar dari gang rumahnya. Sialnya ia harus kembali lagi karena lupa mengunci pintu.
Setelah memikirkan kembali, sebaiknya ia mengganti seragamnya terlebih dahulu daripada mendapat masalah lebih banyak dari gurunya nanti.
Kali ini Vanessa mencoba untuk bersikap tegar, mencoba untuk tidak menangis. Ia terlalu cengeng hari ini. Ia sudah berjanji pada Papanya untuk menjadi seorang gadis yang kuat. Namun apa yang Vanessa pikirkan itu tetap bertolak belakang dengan dirinya. Ia mulai menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya setelah mengganti baju. Kadang ia menghapus air matanya, dan terlihat biasa saja. Lalu menangis kembali. Ia sudah seperti orang gila hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is This Love?
Teen FictionVanessa, gadis remaja yang rapuh jiwanya. Terjerat dalam pedihnya kenyataan dunia. Ia hanya bisa menangis dalam diam. Hingga ia menemukan seseorang yang mampu mengubah hidupnya, mampu membuatnya merasakan kehangatan yang sudah lama tak dirasakannya...