Chapter 4

102K 2.4K 48
                                    

"So?"

"What?" tanya Austin bingung. Mereka bertiga-dirinya, Reon dan Sasya masih berada didalam kamar Aurin dan belum mengejar kemana gadis itu pergi. Paling bersama papanya, pikir Austin.

Reon berdecak kesal. "Kenapa lo jadi lemot banget sih? Terus gimana tuh sama Aurin?" tanya Reon pada akhirnya. Sedari tadi ia hanya bisa melihat Austin yang frustasi karena Aurin memintanya untuk mempraktekan apa yang di.lakukan oleh papa dan mamanya. Dan itu tidak mungkin!

Austin mendengus. "Pusing nih gue mikirin Aurin. Yakali gue meraktekin kayak gituan sama dia. Gue masih waras kali, dia kan adek gue. Dikira gue brother complex apa ya," ucap Austin bersungut-sungut. Sasya terkekeh melihat Austin yang sudah putus asa.

"Kamu depresi banget, A." ucap Sasya saat melihat Austin kembali mengacak-ngacak rambutnya.

"Jelas Austin depresi. Sejolinya ngambek hahahaha." ledek Reon yang membuat Austin semakin uring-uringan. Jika sudah seperti ini, ia bingung harus melakukan apa lagi untuk merayu Aurin.

"AURINNNN!" teriak Austin pada akhirnya. Ia bangkit dari duduknya dengan muka tertekuk dan keluar kamar Aurin. Reon dan Sasya menyusul Austin dengan cepat.

Austin menuruni tangga dengan sangat cepat. Ternyata dibawah sudah ada teman-teman papanya juga Aga, omnya. "Eh ada si ganteng. Kok mukanya ditekuk gitu?" ucap Ify saat melihat Austin yang turun kebawah dengan wajah cemberut.

"Galau, ma. Sejolinya ngambek," sambar Reon yang sudah berdiri dibelakang Austin.

"Ck, berisik ah." ucap Austin. Semua orang yang berada didalam ruangan itu tertawa karena tingkah laku Austin yang sangat mirip dengan Hazza. Jika Gita sudah marah dengannya maka ia akan menjadi uring-uringan seperti halnya Austin sekarang.

"Makanya cari pacar biar gak ngegantung sama Aurin terus." ledek Hazza yang baru saja datang dari arah dapur bersama Gita. Austin mendelik kearah Hazza yang tengah terkekeh melihatnya.

"Pacaran? Gak akan! Belum waktunya pacaran, masih kecil. Mending juga jagain adek noh yang masih polos." ucap Austin lalu langsung meninggalkan ruang tamu menuju halaman belakang. Biasanya, Aurin akan duduk di pondok jika marah dengannya.

Hazza dan Gita hanya menggeleng melihat tingkah laku Austin. Anak pertamanya itu sangat dewasa, di umurnya yang sudah menginjak 17 tahun Austin belum pernah memiliki kekasih-sama seperti Hazza dulu, namun saat di kelas 3 akhirnya Hazza memiliki kekasih, yaitu Gita.

Berbeda dengan Austin, ia lebih memilih untuk mengkesampingkan urusan percintaannya dan memilih untuk menjaga kembarannya. Prinsip dewasa yang dimiliki Austin membuat Hazza dan Gita bangga. Terlebih, anak pertamanya itu berusaha belajar dengan keras agar kelak-saat Hazza memberikan alih perusahaan kepadanya, ia bisa menjalankannya dengan baik.

Austin juga belum pernah menyentuh wanita lain selain Gita juga Aurin. Austin benar-benar menjauhi para perempuan yang mencoba mendekatinya, seperti halnya Sasya. Wanita berumur 21 tahun itu selalu saja di hindari oleh Austin. Disaat mereka bertemu saja, Austin selalu memandang Sasya seperti musuh. Dingin. Tak bersahabat.

Tatapan yang diberikan Austin membuat hati Sasya nyeri. Ia sadar bahwa Austin tidak akan mungkin suka dengannya karena ia dan Austin berbeda umur-cukup jauh. Namun, apa boleh buat? Yang namanya cinta tidak bisa direncanakan, bukan?

Jadi, Sasya hanya bisa diam menerima perlakuan Austin yang tidak-bahkan hampir sering tidak menganggapnya. Sakit? Sangat. Rasanya ingin sekali Sasya berteriak bahwa ia sakit jika Austin terus saja mengacuhkannya. Tapi sekali lagi, ia bisa apa? Austin adalah adiknya-sepupu jauhnya. Mana mungkin Austin mau berpacaran-jangankan berpacaran, untuk dekat yang dalam kata lain seperti berkencan saja ia takkan mau.

"Anak lo beda banget sama lo. Lebih dingin, cuek, dan bener-bener gak banyak bicara. Dia cuma mau bicara panjang sama kembarannya doang, Aurin. Selebihnya? Jarang kan." ucap Aga. Ia memang selalu memperhatikan perkembangan Austin. Namun sayang, tak ada perubahan. Keponakannya itu tetap saja menjadi seorang yang dingin tak bersahabat-tidak ketika ia berada disebelah kembarannya, Aurin.

"Iya, beda banget. Lo kan walaupun dingin, cuek bebek, dan hal yang nyebelin lainnya tapi masih bisa diajak bercanda. Lah Austin? Diem mulu udah kayak patung." celetuk Vano yang langsung mendapatkan pelototan dari Hazza.

"Lo kira anak gue dipahat?" ucap Hazza. Vano hanya menyengir kuda. Walaupun umurnya sudah berkepala 4 tapi tetap saja sifay ajaib Vano tidak pernah hilang dari dirinya. Hazza, Reyhan dan Bimo yang memang sahabatnya saja bingung kenapa Vano bisa seajaib itu.

Satu ruangan itu pun tertawa melihat perdebatan Hazza dan Vano yang memang sudah biasa terdengar. Tapi tidak dengan Sasya. Ia memikirkan apa yang dilakukan oleh Austin dan Aurin dibelakang sana? Apakah Austin akan menuruti kemauan Aurin atau tidak. Tapi buru-buru ia menepis pikiran itu, ia tahu bahwa Austin tidak akan pernah menuruti kemauan Aurin. Ya, tidak akan pernah.

"Semuanya, aku permisi ke dapur dulu ya." ucap Sasya. Ia langsung meninggalkan ruang tamu dan menuju dapur. Ia haus dan ingin sekali meminum jus jeruk kesukaannya.

Reon yang melihat kakaknya pergi meninggalkan keramaian pun segere menyusulnya setelah meminta izin kepada yang lainnya. Ia melihat kakaknya yang sedang memunggunginya sambil membuat sesuatu.

"What are you doing here?" tanyanya sambil berjalan mendekat. Sasya menoleh kebelakang dan tersenyum. Ia mengacungkan gelas berisi jus jeruk yang sedang beri es batu kedalam gelasnya.

"Kamu mau?" tanya Sasya. Reon mangangguk lalu bersandar di meja pantry sambil menatap kakaknya yang sedang membuatkannya minuman.

"Kak." panggil Reon.

"Hm?"

"Kak.. Aku curiga deh sama Aurin. Dia selalu aja ngelakuin hal yang gak wajah dilakuin sama saudara-apalagi dia kembar. Mereka berdua kayak pacaran, tapi Austin selalu nyangkal dia brother complex. Apa.. Aurin-" omongan Reon yang berbelit itu terhenti karena Sasya menunjukkan satu jarinya dibibir. Sasya tahu apa yang akan adiknya katakan, makanya ia langsung memberhentikannya.

"Mereka berdua cuma saudara. Bukannya kamu yang bilang ke kakak kalo semuanya akan baik-baik aja? Jadi, seperti yang kamu bilang. Semuanya akan baik-baik aja. Kakak juga yakin, kamu bisa dapetin Aurin kok kalo kamu terus berusaha." ucap Sasya sambil mengerling genit kepada Reon.

Reon mendengus. "Aku gak yakin kalo Aurin mau sama aku." uca Reon lesu. Ia benar-benar dilema semenjak mengetahui bahwa ia mencintai Aurin-kembaran Austin. Namun yang ada dipikirannya adalah, bagaimana jika Aurin sama dengan Austin-yang tidak ingin berpacaran ataupun berkencan dengan saudaranya sendiri walaupun tak sedarah.

Sasya mendekat kearah Reon. Ia menggenggam tangan adiknya dan meremasnya lembut. "Jangan pesimis, okey? Kita sama-sama berjuang. Jangan nyerah sebelum kamu berperang." ucap Sasya sambul tersenyum lembut. Reon mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Mending kita nyusul mereka yuk. Siapa tau aja mereka udah baikan? Yuk," ucap Sasya sambil menarik tangan Reon. Sasya berjalan sambil sesekali berjingkrak dan menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti anak kecil. Hal itu membuat Reon terkekeh.

Saat mereka sudah berada didepan pintu penghubung, langkah Sasya berhenti. Bahkan tubuhnya berubah menjadi kaku dan tegang seketika. Pandangannya lurus kedepan. Reon yang penasaran akan apa yang dilihat kakaknya langsung mengikuti arah pandang Sasya. Dan betapa kagetnya ia saat melihat apa yang terjadi dihadapan dirinya juga kakaknya.

Everything Has ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang