“Bad memories shouldn't be forgotten, but used as a lesson to be better.”
***
Austin memperhatikan sekelilingnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Ia terlihat tidak tertarik dengan keadaan sekitar walaupun sedari tadi matanya terus memperhatikan sekelilingnya. Ia menghela nafasnya berkali-kali sebelum akhirnya menundukkan kepalanya sedikit. Sudah dua minggu ia berada di sini, mencoba untuk melupakan tentang Cikha. Pengecut memang karena ia memilih untuk pergi jauh dan mencoba melupakan kenangan itu. Dan sejujurnya Austin tau jika kenangan akan terus membanjiri pikirannya ketika ia berusaha semaksimal mungkin untuk melupakannya. Kenangan tidak harus dilupakan. Kenangan yang seharusnya adalah kenangan yang bisa dijadikan pembelajaran untuk masa depan. Kejadian-kejadian buruk itu, bisa dipelajari kembali di mana letak kesalahannya dan di masa depan, mungkin ia akan lebih baik dan berhati-hati agar tidak terulang kembali. Dan kejadian indah itu, sebagai hadiah dari kejadian buruk yang akan membuatnya lebih baik.
Austin mengerjapkan matanya dan mendongakkan kepalanya, memandang kembali pada sekelilingnya. “Bukan saatnya untuk mikirin hal itu lagi, Austin.” gumamanya pada dirinya sendiri.
Setelah meninggalkan beberapa lembar euro, Austin segera berjalan keluar dari dalam Cafe tempat ia berada sekarang. Tangannya ia masukkan ke dalam mantel hitam yang digunakannya. Udara di Italy yang sudah berubah suhu menjadi lebih dingin membuat Austin memakai pakaian hangat.
Austin mengeluarkan ponselnya dan membaca beberapa pesan dari Skype yang di kirim oleh teman-teman juga adiknya, Aurin. Karena terlalu serius memainkan ponsel, ia tidak memperhatikan jalan yang berada di depannya hingga tubuhnya menabrak seseorang.
Austin nenunduk dan membelalakkan matanya saat melihat gadis berambut pirang tengah jatuh terduduk di hadapannya. “Siamo spiacenti, signora.” ujar Austin cepat dengan perasaan bersalah dan segera membantu gadis itu berdiri tegak.
Gadis itu membersihkan sedikit mantelnya dan memandang Austin dengan senyum tipis. “Niente,” ujar gadis itu pelan. “mi scusi, devo andare.” lanjutnya yang segera di jawab dengan anggukkan oleh Austin. Gadis itu memberikan senyum tipisnya dan mengangguk pelan sebelum akhirnya pergi melewati Austin dan meninggalkan pemuda itu yang masih memperhatikan punngungnya.
Austin kemudian menggelengkan kepalanya kecil dan berjalan menuju apartment-nya yang terletak tidak jauh dari tempatnya kini berada.
“I miss you, Kak.” ujar Aurin dengan nada sedih. Austin yang melihat wajah memelas Aurin dari layar laptopnya pun terkekeh pelan.
“Makanya kamu ke sini, temenin kakak.” jawab Austin dengan nada candaan di dalamnya yang membuat Aurin mencebikkan bibirnya sebal.
Semenjak Austin pergi meninggalkan Indonesia, Aurin selalu merasa sendirian. Biasanya, akan ada Austin yang selalu menemai dirinya di rumah jika ia sedang bosan. Tapi sekarang, tidak lagi. Reon yang sedang banyak tugas pun tidak bisa menemani dirinya setiap hari. Berbeda dengan Austin yang akan selalu ada untuknya.
Aurin menghela nafasnya. “Gimana kabar kakak di sana? Gak bandel kan?” tanya Aurin dengan mata menyipit. Austin terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Aurin terlihat sangat menggemaskan ketika mengkhawatirkan dirinya.
“As you see, Princess. Aku baik-baik aja di sini. Tenang aja, aku gak akan jadi anak yang nakal kok.” jawab Austin dengan senyum miring andalannya. Aurin menaikkan sebelah alisnya dan membuang pandangan saat mendapati senyum Austin semakin melebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed
Novela JuvenilSUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU TERDEKAT! Tidak ada yang lebih menggemaskan dari si kembar Austin dan Aurin, kakak beradik Sasya dan Reon, pun si gadis bermata abu-abu bernama Cikha yang selalu bertingkah malu pada setiap orang, juga Nando si pemuda yan...