Aurin merapihkan tumpukan-tumpukan buku milik Austin masih tersisa di dalam kamar pemuda itu. Austin sendiri yang meminta dirinya untuk menyumbangkan buku-buku tersebut ke tempat yang membutuhkan.
"Aurin?"
Panggilan dari luar kamar membuat tangan Aurin berhenti bergerak. Ia menolehkan pandagannya keluar kamar Austin dan mendapati kekasihnya berada di sana.
"Aku di kamar kakak, Re." jawab Aurin dengan nada sedikit berteriak. Tidak lama, Reon muncul membawa dua buah gelas jus jeruk kesukaan Aurin.
Reon tersenyum dan mendekati gadisnya. "Udah selesai semua? Atau masih ada lagi?" tanya Reon sembari memberikan salah satu gelas untuk Aurin yang langsung di terima dengan senang hati oleh gadis itu.
"Ummm," Aurin menggantungkan kata-katanya saat bibirnya menempel pada bibir gelas. Reon terseyum geli melihat tingkah gadisnya. "kayaknya udah gak ada lagi deh, cuma ini aja." lanjut Aurin setelah menghabiskan setengah gelas jus jeruk.
Reon mengangkat sebelah alisnya. "Kamu haus banget ya?" tanyanya dengan nada geli. Aurin yang tau jika kekasihnya mulai iseng pun hanya mendengus dan meleletkan lidahnya.
Aurin kembali membereskan buku-buku tersebut dan memasukkannya ke dalam kardus yang berada di dekatnya. Reon hanya bersedekap dada dan memperhatikan kekasihnya dengan senyum tipis yang merekah di bibirnya.
Getaran di saku celananya membuat Reon beralih kepada ponselnya. Dahinya mengerut saat mendapati ID private number tertera di sana. Siapa yang menelponnya dengan nomor privat? Setau Reon, ia tidak mempunyai teman atau keluarga yang memakai nomor private. Dengan ragu, ia mengangkat sambungan tersebut dan menunggu seseorang berbicara dari sebrang sana.
"Hal--"
"Reon, sayang. Aku kangen kamu."
Reon tersentak kaget saat mendengar suara itu. Ini suara milik Stella. Sial, makinya dalam hati. Kenapa gadis itu bisa mengetahui nomornya? Setau Reon, dia tidak pernah menyebarkan nomor telponnya kepada siapapun. Lalu, dari mana Stella mendapatkan nomonya?
"Apaan sih? Ini siapa coba? Gak jelas banget." ucap Reon cepat dan buru-buru memutus sambungan telepon. Aurin yang memperhatikan kekasihnya pun mengerutkan keningnya bingung.
"Siapa, Re?" tanya Aurin dan berjalan mendekat pada Reon yang sedang bersandar pada lemari laci yang tidak jauh dari ranjang Austin.
Reon mengerjap dan menggelengkan kepalanya. "Gak tau," dustanya. "tiba-tiba tadi ngomong bilang kangen. Ya, aku bilang gitu aja. Salah sambung kali." lanjut Reon yang dijawab oleh gumaman dari Aurin.
Keduanya pun terdiam. Aurin mengambil plester berwarna coklat dan gunting yang berada di atas nakas. Ia segera menutup kardus tersebut hingga tidak ada celah terbuka untuk mengintip ke dalam.
Reon memperhatikan Aurin dan saat gadis itu duduk di sisi kiri bawah ranjang, Reon mendekat dan memeluk Aurin dari belakang. Ia mengecup puncak kepala Aurin hingga gadis itu menoleh ke atas untuk memandang dirinya.
"Kangen Austin, ya?" tanya Reon pelan. Aurin tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia memang merindukan keberadaan Austin di kamar ini. Kamar di mana mereka biasa menghabiskan waktu berdua.
"Kakak gimana ya di sana? Apa dia udah bisa lupain Cikha?" tanya Aurin dengan nada cemas. Ia memang selalu mencemaskan Austin yang berada jauh darinya. Ia takut jika Austin mengalami sebuah trauma yang bisa membuat pemuda itu berpikir tidak jernih.
"Jangan khawatir. Aku tau Austin kayak gimana kok. Austin pasti baik-baik aja." ucap Reon meyakinkan. Aurin hanya mampu mengangguk dan menghela nafas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya pada Reon dan memejamkan mata--merasakan ketenangan yang diberikan kekasihnya.
Ponsel Reon kembali bergetar membuat Aurin yang sedang bersandar padanya kini memutar balik tubuhnya dan memandang Reon dengan tatapan bingung.
"Siapa?" tanyanya dengan nada penasaran. Reon melihat pada ponselnya dan wajahnya menjadi datar saat mendapati ID private number kembali menghubunginya.
"Gak tau ini siapa, nomornya di privat." jawab Reon dengan nada acuh. Ia memutuskan untuk mematikan ponselnya setelah panggilan itu berhenti. Dalam hati, Reon menggerutu karena Stella masih saja mengganggunya.
Aurin menggedikkan bahunya dan bangkit dari duduknya. Ia mengecup pipi Reon singkat sebelum berjalan menuju nakas di mana ponselnya berada. Senyumnya pun terkembang saat mendapati pesan dari skype dengan nama Austin yang tertera di sana.
Austin Wizein: Kangen aku, gak?
Aurin D. Wizein: Kangen banget, kak. Kapan pulang?
Austin Wizein: Kapan-kapan kalo aku inget sama rumah :p
Aurin D. Wizein: -_-. Pulang kak,
Austin Wizein: Iya, sayang. Aku pulang nanti, ya. Btw, aku ketemu sama cewek, cantik banget, dek. Bule loh. Hahahaha
Aurin mengangkat sebelah alisnya. Sejak kapan Austin jadi suka membicarakan gadis cantik seperti ini? Terlebih Austin menyebutkan jika gadis ini bule yang artinya gadis ini berasal dari negara berbeda dengannya.
Aurin D. Wizein: Sejak kapan kakak jadi suka sama cewek bule?
Austin Wizein: Sejak mata biru itu memandang diriku~syalalalala
Aurin mendengus melihat tingkah konyol Austin. Walaupun Austin terlihat dingin dan cuek di luar, pada dasarnya pemuda itu tidak pernah seperti itu. Kakaknya bukanlah pemuda yang pendiam seperti apa yang biasa di lakukan oleh pemuda itu.
Dengan geli pun Aurin hanya mengirimkan sebuah emot lalu kembali menuju Reon yang kini menatap dirinya dengan pandangan bingung. "Kenapa?" tanya Reon bingung. Aurin hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Tolong bantuin aku angkat ini ke bawah." katanya sembari menggedikkan dagunya ke arah kardus yang sudah siap untuk di kirimkan ke tempat yang membutuhkan.
Reon mendekati Aurin dan membantu gadis itu menurunkan kardus ke lantai satu. Sesampainya di bawah, mereka pun menghela nafas karena beban kardus itu cukup berat untuk mereka.
"Capek?" tanya Reon dengan nada lembut sembari mengusap rambut Aurin dengan penuh kasih sayang. Matanya menatap gadis itu teduh hingga membuat Aurin selalu merasa tenang di dekat Reon.
Aurin menggelengkan kepalanya. "Gak terlalu capek kok." ucapnya dengan senyuman tipis. Reon menarik tangan Aurin mendekat kepadanya dan memeluk gadis itu dengan dekapan hangatnya.
"Aku sayang kamu." gumam Reon sembari mengecup kening Aurin dengan sayang, membuat gadis itu tersipu malu dan menunduk.
Aurin mengangkat kepalanya dan mengecup pipi Reon cepat. "Aku juga sayang kamu." jawabnya malu-malu, membuat Reon terkekeh kecil dan mengacak rambutnya.
"Aurin," panggil Reon pelan hingga gadis itu mendongak dan menatapnya bingung. Reon menatap Aurin tepat di mata dan mengucapkan kata-kata yang membuat Aurin tersenyum lebar.
"Berjanjilah saat nanti kita ngehadapin suatu masalah, jangan pernah tinggalin aku."
"Janji." jawab Aurin yakin. Reon tersenyum dan memeluk Aurin dengan pelukan erat. Seperti tidak ingin melepaskan gadisnya.
***
Finnaly! Akhirnya selesai juga exchapnya. Hahaha maaf asburd. Huehehehe.
NEW STORY IS COMING TO US, GUYS! CHECK OUT MY PROFILE AND SEE MY NEW STORY CALLED "[EHCS: 1] - OUR" , THIS STORY IS ABOUT AUSTIN AND CIKHA.
SEE YOU GUYS THERE!
++300 VOTES for the next chapter! Please leave your comment! Thanks xx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Has Changed
Ficção AdolescenteSUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU TERDEKAT! Tidak ada yang lebih menggemaskan dari si kembar Austin dan Aurin, kakak beradik Sasya dan Reon, pun si gadis bermata abu-abu bernama Cikha yang selalu bertingkah malu pada setiap orang, juga Nando si pemuda yan...