Part 3: Benci dan Rindu

34 6 2
                                    

"Langit tak pernah melapor kepada Bunga ketika ia akan bergemuruh. Dan Bunga, tidak ingin cepat meninggalkan Langit karena bergetar tangkainya. Ia harus kokoh dan bertahan. Walaupun penuh dengan rasa benci dan rindu yang tak pernah selaras. Intinya, Bunga harus menerima apapun sikap Langit, meski ia tak suka."

...
...

Pagiku sangat tidak bersemangat. Teringat peristiwa semalam, Irga tak membalas pesanku lagi. Aku heran mengapa ia marah, sehingga linimasaku penuh dengan status-statusnya. Entah itu menuliskan apa yang dirasakannya, sindiran terhadapku dan sekadar lagu apa yang sedang didengarkannya. Benar-benar, sikap Irga menakutkan diriku.

Dikelas, aku melihat-lihat Irga, Rizky dan sekumpulannya saling bercengkrama dengan para genk perempuan centil dikelasku. Siapa lagi kalau bukan Kirna dkk. Jujur, hatiku panas sekali mendengar Kirna berulang kali memamerkan jeritannya yang khas melengking menyebutkan nama Irga. Aku bingung sekali dengan hari ini. Tak kudapati selera makan- semua begitu gelap menghantui hidupku. Bahkan, memilih jajan kantin saja aku kebingungan. Hasilnya, jajan yang kupegang adalah hasil sergapan tangan yang asal-asalan. Sebungkus kue bawang dengan saos pedas dan aku tak menginginkannya. Aku memandangi bungkusan itu dan berniat memberikannya pada Tia. Aku bayar makanan itu, kemudian aku memberikannya pada Tia.

Sampai dikelas, Eki menghampiriku. Aku berfirasat bahwa ia akan memberitahukan berita buruk untukku. Dan benar saja. . . berita ini sungguh menyakitkan hatiku!

"Dar, tadi aku kekelas 8E! Si Irga disana." katanya terburu-buru.
"...Terus? ada apa?"
"Ah, nanti kau marah pula samaku."
"To the point aja kali! Atau sebelum kusembur...."
...
...
"Aku tengok tadi, kan. Si Irga kekelas 7E. Dia. . nyium si Devi!"

Seperti petir disiang bolong, kabar itu ingin menyengatku kali ini. Suara kepalaku membisikkan hal-hal aneh padaku yang membuat suasana hatiku memburuk seketika. Aku menuju tempat dudukku dan berekspresi masam. Aku kacau, galau.

"Kau kenapa, Dar?" tanya Tia padaku dan aku menggeleng.
"Diapain Irga kau, heh?" ia mengguncangku, aku tetap menggeleng.
"Ti, aku tahu. Devi lebih cantik dariku. Tapi, apa haruskah, si Irga mencium anak itu? dan orang lain yang mengatakan itu padaku? Apa salahku?" aku bersandar kebahu Tia.
"..yang sabar, Dar. Jangan sedih."
"Gimana aku ga sedih. Aku lagi bertengkar sama Irga, tapi ulahnya begitu!"
"..dari siapa kau tahu, Dar?"
"...Eki, Ti." Aku mengusap airmataku yang hampir terjatuh.

Dikelas, Tia terus mengusap kepalaku berusaha menenangkanku. Sekembalinya Irga dari luar menuju bangkunya, pandanganku berubah terhadapnya. Aku melihat hanya ada aura hitam saja mengelilingi tubuhnya. Tak ada gestur menarik yang kulihat dari dirinya. Dia hanya Irga, laki-laki biasa, bukan siapa-siapa. "Aku benci mengenal dirinya. Mengapa begitu perlakuannya padaku?"

***

Malamnya, adalah malam dimana para remaja sibuk mencari pakaian, mempercantik diri dan keluar berjalan-jalan bersama pacarnya. Ya, malam minggu. Aku mencoba berbeda dari remaja lainnya, dan aku berfokus pada laptopku saja. Aku membuka facebook, dan melihat sebuah pesan belum dibaca. Pesan itu dari Irga, Irga D'Kaiserz.

Aku mengklik pesan itu dan tanpa memiliki firasat apa-apa terhadapnya. Tak sedikit terpikirkan olehku bahwa ia akan mengirimkan pesan yang menurutku benar-benar menghancurkan rasa sayangku terhadapnya. Bagaimanapun tingkah lakunya, aku masih memaafkannya, tapi tidak dengan hari ini, dimalam minggu ini. Dimana seharusnya aku bercengkrama ria dengannya, ini malah sebaliknya. . .

Irga D'Kaiserz
Lagi ngapain yang?

Chindara Fitrya
..ngga ada.

Irga D'Kaiserz
Oh..

A Color Behind The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang