Part 11: Konyol

16 2 0
                                    

*****

"Halo, Ga. Jalan, yuk. Aku libur." kataku.
"Kemana, Dar?"
"Kemana aja, deh. Bosen."

Irga menjemputku dari rumah. Ia diantar oleh temannya dan berpenampilan sangat rapi-kemeja kotak-kotak berwarna peach, cut-bray biru muda, sepatu sneakers dan membawa kacamata. Cincin tengkorak yang setia melekat dijari manis kirinya, dan rambutnya yang lekat dengan pomade, harumnya seperti aroma vanilla.
Aroma tubuhnya, semerbak mewangi.

"Mantap juga selera fashion anak ini. Apalah aku--" pikirku.

Bertolak belakang denganku, memakai pakaian apa yang telah disetrika saja dan yang penting pakaian itu, nyaman.

"Kita, kemana?" tanyanya sembari memasang kacamata.
"Naik angkot aja, lah. Biar, hemat!" jawabku kemudian.
"..ya, memang. Mau naik apa lagi? Limousine?"
"Mata kau itu, limousine! Ada duit angkot, gak?" aku melirik sakunya.
"Ya... ngga, hehehehe"
Aku mencubit perutnya.

Aku berpikir agak lama menentukan tempat tujuan. Akhirnya, aku mengajaknya ketoko buku terbesar di Kota Medan. Aku hanya ingin membaca buku berdua bersamanya, supaya ia tidak bosan dan tentunya bermanfaat. Ia menyetujui pilihanku.

Aku berjalan pelan berdua dengannya. Kemudian, ia menyetop angkutan umum berwarna oranye bertuliskan 40 diatasnya.

"Nanti, mau baca buku apa, Ga?" tanyaku.
"Hmm...buku, berbau. . . vulgar?" godanya. Aku menggeplak kepalanya.
"Gila, kau. Rame orang disini, bego." kesalku.
"Ya, bodo, ah. Asal kamu, senyum." Ia mendekatkan senyumnya kearah wajahku. Aku tersipu.
"Biasa aja ngelihatinnya. Nanti, suka!" kataku.
"Memang. Udah lama suka, kok!" godanya.

"..Sok jago bikin hati meleleh. Gak mirip Dilan kau, nggak!" kesalku dalam hati.

Aku memandangi jendela angkutan umum- ada orang berlalu lalang disana. Aku memperhatikan dengan seksama-wajah-wajah kelelahan, anak yang baru pulang sekolah, orang yang sedang menunggu angkot, mobil mogok, gedung-gedung tinggi, dan warna cat trotoar yang sudah memudar. Aku memandangi semua hal itu sambil melihat Irga yang duduk disampingku. Ia menjepitku dengan sangat erat diujung angkot ini.

Semilir angin yang menghembuskan wajahku, seiring sejuknya aku memikirkan pula tingkah konyol Irga. Irga, begitu kaku duduk disampingku. Ia tak terlalu memperhatikan sekitarnya, hanya fokus kejalanan didekat pintu angkot itu. Kurasa, ia sedang memperhatikan apakah gedung toko buku itu sudah terlewat atau tidak, atau sekedar tak bisa memilih apa yang harus dipandanginya. Karena sedari tadi aku melihatinya, ia melihatku. Ia tersenyum. Jarakku dengan duduknya sangat dekat sekali, sehingga aku bisa merasakan hembusan nafas lembutnya dikala itu.

***

Aku dan Irga memasuki gerbang utama toko buku itu.

"Kita, naik lantai dua, ya." pintaku.
"Iya, sayang." ia meniti tangga dengan cepatnya. Aku, berusaha mengikutinya.

Aku berjalan kearah lorong buku yang bertuliskan fiction. Baru saja aku mengalihkan pandanganku ketulisan itu, Irga sudah tidak berada lagi disampingku. Aku-pemilik sifat ketakutan-berusaha tenang. Mencari bocah kecil yang jahil itu. Tidak, bocah gangster yang sangat stylish itu.

"Kau dimana? Ngga usah pakai ngerjain, segala!" gerutuku dalam hati.

Aku menoleh kiri kanan mencari dirinya. Tak juga kudapati dirinya. Aku berusaha mencarinya perlahan-berusaha mendengarkan langkah kakinya dan bau tubuhnya.

Tak berapa lama, ia memunculkan senyum jahilnya sedang bersembunyi dibalik rak buku bertuliskan non-fiction. Aku hanya mengembangkan senyum, padahal aku sangat ketakutan dan jengkel dalam satu waktu. Aku mendekatinya, tetapi.... ia berpaling dengan cepat untuk bersembunyi lagi.

A Color Behind The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang