Part 14: Ketidaksukaan

15 2 0
                                    

Hari ini sedang tidak ada perkuliahan. Kosong. Rasanya, bosan sekali dirumah.
.

Aku memesan ojek online, dan mengarahkan rute alamat kerumah Irga. Ya, aku pikir dengan kerumah Irga, kejenuhanku hilang.

......

"Ibu. Ada, Irganya, Bu?" tanyaku.
"Ada, Dar. Masuk saja, ya." kata Ibunya kemudian.

Aku masuk kedalam rumahnya dan duduk disofa yang terlihat agak berantakan. Tak ada Irga diruang tamu.

...

Taklama setelah 10 menit aku menunggu, Irga menghampiri sembari mengucek matanya.

"Baru bangun, ketua?" tanyaku.
"Eh, udah lama, datang?" aku menggeleng menyahutnya.
"Baru aja, kok. Beberapa menit yang lalu." ujarku.
"Aku, cuci muka bentar, ya." Ia kembali kebelakang untuk mencuci mukanya.

Kudengar langkah kaki dari dapur. Irga kembali menghampiriku yang duduk diruang tamu. Rupanya masih kusut, tetapi aku suka melihatnya.



Kurasa, aku memang menyetujui ungkapan; ketika pasanganmu bangun tidur, hal itu adalah hal yang paling seksi yang pernah ada.

"Kok, ngga kuliah? Cabut, kau, kan?" tanyanya.
"..Aku anak baik, ngga pernah cabut. Ngga kayak kau, pas SMP!" tukasku.
"Jadi? Kau, melawanku?"






Ia mendekatiku, menatap dalam-dalam kedua mataku. Mataku membulat melihat pupilnya membesar. Jantungku berdegup lumayan kencang dan nafasku sedikit tertahan.



"Takut kau, kan? Makanya, jangan melawan." aku terdiam menatapnya dan menunduk salah tingkah.
"..Ng-ngga, kok!" elakku.
"Alah, yakin? Tuh, pipimu merah!"
"Mana? Mana? Ngga kok," aku memegang kedua pipiku. Benar, sedikit terasa hangat.
"Hahaha, woo, susah banget ngaku!" ia tertawa kearahku. "Eh, aku sarapan dulu ya, sayang." ujarnya kemudian.
"..I-iya." jawabku gugup.

Ia berjalan menuju dapur. Terdengar suara dentuman sendok dan piring yang diakibatkan Irga. Suara lemari makan yang ditutup secara paksa karena dibantingnya sedikit mengejutkanku.

"..Ngga diluar, ngga dirumah, benar-benar semua dibawakannya keras. Apa memang tidak ada sisi lembut didirinya?" pikirku.


Ia kembali keruang tamu dan mendekatiku. Ia menyodorkan piringnya kearahku.

"Suapin aku, sayang." ujarnya dengan suara lembut dan wajah memelas.
"Manja banget, ih!. Kamu kan bisa makan sendiri." aku bercanda menolaknya.
Ia menarik daguku, mendekatkan wajahku kewajahnya.



"Suapin! Atau aku--" ancamnya.
"Aku apa? Ngancem, nih?"
"Atau-- aku aja deh yang suapin kamu." ia menyuapkan sendok itu tiba-tiba kemulutku.

"..Anak ini nyuapin kok gapake perasaan sih?! Kayak berasa ospek masuk anggota geng aku rasanya!" kesalku dalam hati.

Ia menaikkan sudut bibir kanannya. Matanya menatap nakal kearahku.

"Gitu, dong. Biar gemuk."
"Aku--"
"Udah, gemuk!! Hahaha" sambungnya.
"Aku keselek bego! Bukan masalah gemuknya!"
"Aku mau minum!"
"Nah" ia menyodorkan teko berisi air dingin. Ini, masih pagi, masa ditawarin air dingin?
"Ini es. Aku mau air biasa."
"Ambillah sendiri." jawabnya.
"..Ambilin, lah." wajahku memelas manja kearahnya.

Bibirnya maju mengerucut sambil berkomat-kamit lembut. Walaupun begitu, ia rela kebelakang mengambilkan air minumku.

Irga aneh.
Tak bisa ditebak.

***

Akhirnya makan kami usai. Ia kenyang dan aku kenyang karena disuapi olehnya.

.
.

Aku menuju pintu dan keluar dari rumah Irga. Pandanganku terarahkan kepohon bambu dan memejamkan kedua mataku. Semilir angin berhembus mengenai tubuhku rasanya sejuk, begitu tenang.

Aku duduk diatas kursi kayu yang dimodifikasi senyaman mungkin dan dinaungi oleh pohon rindang diatasnya. Teduh dan nyaman.

"Ga, sini. Duduk." kataku memanggilnya dari luar.
"Didalam rumah ajalah, sini. Ngapain disitu!" dahinya mengerut. Ia pun mendekatiku sejenak dan duduk disampingku.

"Kau suka banget keluar rumah, kan. Padahal, disini nyaman dan tentram banget. Apa yang dicari diluar padahal ada ketenangan disini. Uh!"

Ia terdiam.

"..."
...
...






"Aku--hanya tak suka dengan ketenangan. Aku suka kericuhan."

Ia berlalu meninggalkanku sendiri dikursi dan masuk kerumah.

Ungkapan seperti apa itu.






Aku masih duduk dikursi itu dan masih terdiam mengolah perkataannya. Mimik wajahnya tadi, tidak ditemukan sedang bercanda.

"Itukah, sisi sebenarnya Irga? Tidak menyukai sama sekali angin yang lembut, kesunyian yang tenang, sejuknya udara dan kesendirian yang menentramkan hati? Apa, maksud dari perkataannya, itu? apakah, keributan sudah mengalir dalam nadinya? Mengapa, ia begitu terobsesi kepada hal-hal yang berbau kepermusuhan? Apakah, begitu semua didalam hati seorang sosok yang berwatak sedikit gangster, menakutkan, dan sangat disegani, itu? kalau ya, aku lebih baik terasingi daripada harus disegani seperti dirinya."

"Disini, dimenit ini, kita memang berbeda, berlawanan arah dan menimbulkan reaksi yang fatal. Aku, entah mengapa tidak ingin menimbulkan perasaan dan suara pikiran ini. Aku tidak akan membiarkanmu terus terhanyut dalam ketidaktentraman itu. Aku, ingin sebagai pelembut diantara kekasaranmu. . aku ingin menjadi itu, Irga. Ingin."

"..Entah impuls apa yang mendorongmu untuk berkata itu kepadaku. Separah apa suasana jiwamu hingga tak menyukai kelembutan sang angin dan ketenangan suara daun yang melambai?"

----------------------------------------

A Color Behind The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang