Louis Tomlinson : Barista

252 26 5
                                    

Jika ada satu hal yang paling aku benci di dunia ini maka itu adalah hujan, aku bahkan tak paham bagaimana orang-orang di luar sana mengaku mereka sangat suka hujan dan dapat menikmati tiap butir air hujan yang menghujam bumi. Aku tahu, aroma hujan sangatlah menenangkan, namun tetap saja, bagiku hujan bukanlah definisi dari menyenangkan.

Aku manarik napas sebelum mengeluarkannya dengan kasar. Kepalaku mendongak melihat bagaimana awan kelabu tengah membuat sebuah parade bunga di atas langit sembari meluncurkan butir-butir air tiada henti.

Saat ini aku tengah berada di halte bus yang mulai penuh sesak dengan orang-orang yang berusaha menghindar dari hujan. Tubuhku sekarang terperangkap di bagian pojok halte dengan seorang pria asing di sampingku dan wanita yang tak henti-hentinya batuk di depanku.

Aku menarik napas dan mengeluarkannya secara kasar untuk kedua kalinya dalam beberapa detik terakhir. Jika aku berpikir lagi hari ini sangatlah jauh dari menyenangkan. Pagi tadi aku harus menelan fakta bahwa mobil buntutku enggan bangkit hidup membuatku harus berjalan karena aku tak suka transportasi publik dan tak ingin orang asing menjadi supirku, kemudian di tempat kerja bosku tengah memiliki tamu bulanan sehingga ia mudah sekali mengeluarkan amarah dan pada akhirnya kepalaku menjadi sakit karena omelan tiada hentinya serta pekerjaan yang terasa semakin menggunung tiap detiknya. Dan sekarang, hujan turun tiada henti dan aku terperangkap di antaranya.

Wanita tua di depanku kemudian bergerak pergi, aku mengikuti pergerakannya dan mendapati bahwa dia memasuki sebuah mobil berwarna hitam yang baru saja terparkir beberapa sekon lalu. Setelah mobil yang wanita itu tumpangi menghilang dari pandangan, aku lantas melemparkan pandanganku ke arah lain dan mendapati ternyata terdapat sebuah kedai kopi yang terlihat tidak terlalu ramai tepat di sebrang halte bus.

Aku berdebat antara apakah aku harus ke sana atau tidak. Badanku terasa semakin tidak enak akibat suhu dingin yang terus menerus menaparku, dan semua orang asing yang berkumpul di sini....

Ya, aku akan pergi ke sana. Aku tidak bisa membayangkan diriku berdiri di halte bus, berdempetan dengan orang-orang yang sama sekali tak kuketahui, sampai hujan yang deras ini berhenti.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri, mendapati bahwa jalanan tengah sepi. Tak banyak kendaraan yang menggelincir di jalanan ini. Aku kemudian berlari kecil, melewati begitu saja air hujan yang terus turun hingga akhirnya tanganku bergerak membuka pintu kedai kopi dan tubuhku masuk ke dalamnya.

Aku menarik napas lega begitu aroma kopi yang khas menusuk indra penciumanku dan tubuhku terasa sedikit lebih menghangat.

Kedai kopi ini sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di beberapa bagian, kebanyakan dari mereka hanya ditemani diri mereka sendiri, membuatku seketika merasa nyaman karena setidaknya aku bukanlah satu-satunya orang sendirian di tempat ini.

Aku kemudian bergerak mendekati seorang laki-laki dengan kemeja putih serta apron berwarna cokelat dengan nama kedai ini tertulis jelas di atasnya.

"Selamat sore, terima kasih telah memilih The Loneliness," kata laki-laki itu, matanya terlihat sibuk memandangi ponselnya yang ia taruh di balik mesin kasir.

"The Loneliness? Terdengar sangat menyedihkan. Dan bukankah kau sedang bekerja yang artinya kau tidak boleh memainkan ponsel? Aku sedang butuh kopi."

Laki-laki itu akhirnya mengangkat kepalanya, membuatku bisa melihat tiap-tiap gurat wajahnya dengan lebih jelas.

"Hey!" laki-laki itu menyapa.

Aku melirik ke arah papan nama yang tersemat di antara apron yang tengah ia pakai. "Louis, aku ingin satu espresso ukuran kecil."

Louis mengangguk. "Atas nama?"

"Ai," kataku. Jelas itu bukanlah namaku, aku tidak suka menyebutkan namaku ke seseorang yang jelas-jelas tak kukenal dan tak pernah kulihat sebelumnya, nama yang mengalir keluar dari mulutku hanyalah nama acak yang muncul di kepalaku. Dia tak perlu mengetahui siapa nama asliku yang sebenarnya, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tak mengenalnya dan tak ingin mengenalnya--yah ... walaupun dia lumayan tampan.

Ia kemudian berbalik dan mulai menggerakan tubuhnya, aku memperhatikan tiap gerakannya saat ia membuatku kopiku, dia kemudian berbalik dan memberikan cup kopi kepadaku.

"Satu espresso untuk Ai," katanya dengan senyuman yang sejujurnya berhasil membuatku merasa tak nyaman.

Aku kemudian berbalik dan menarik tubuhku menuju ke sebuah meja di bagian pojok kanan di dekat seorang perempuan remaja yang tengah sibuk dengan ponselnya, aku bisa melihatnya tertawa akibat sesuatu di ponselnya membuatku mengerutkan kening.

Aku duduk dan menyereput kopiku secara perlahan. Sembari menikmati kopi yang berhasil membuat badanku semakin menghangat aku melihat ke seluruh penjuru kedai kopi dan akhirnya pandanganku teralih ke arah luar dan mendapati hujan telah benar-benar reda. Aneh, aku masih ingat hujan sangat deras beberapa waktu lalu dan sekarang sudah tak ada lagi tetesan air hujan. Inilah satu alasan kenapa aku tak suka hujan; mereka sangat tidak jelas dan aku tak bisa memprediksi mereka.

Meski demikian, aku menghela napas lega melihat semua itu, hal yang sangat ingin aku lakukan saat ini adalah pulang dan tidur.

Aku bangkit berdiri dengan kopi yang sudah hampir tandas di tanganku kemudian membuat langkah menuju pintu. Tanganku tertaruh di ganggang pintu dan mataku secara tak sengaja tertuju ke arah cup kopi.

Ai.

Kau sangatlah cantik, tersenyumlah xoxo

Dan sebuah nomor asing tertulis di sana membuat mataku secara otomatis membulat.

Tanpa bisa kucegah, kepalaku menoleh ke belekang, ke arah Louis berdiri dan mendapati bahwa laki-laki itu sudah memandangku dengan kedua manik matanya. Melihat hal itu, aku segera kembali mengalihkan pandangan dan buru-buru bergerak keluar dari kedai kopi.

Aneh....

Sekaligus menakutkan.

[-][-][-]

Night Changes // 1D (One Shots)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang