Sial! Sial! Sial! aku mengutuk diriku sendiri dalam hati begitu mendapati hujan malam ini semakin keras tiap sekonnya, aku bahkan yakin bahwa hujan yang sebelumnya hanya rintik-rintik kecil ini akan berubah menjadi badai dalam hitungan menit. Andai saja aku tidak mengganti temanku yang satu itu, aku tidak perlu pulang semalam ini, dan jelasnya tak perlu terjebak di hujan. Jika aku masih hidup besok, aku sangatlah beruntung.
Dari kejauhan, seseorang terlihat berlari di tengah badai, tak lama, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas dan pria itu kini berhasil berdiri di sampingku yang tengah berusaha untuk berlindung di depan sebuah kedai. Pria tersebut sangatlah asing di mataku, ia memiliki rambut keriting yang sekarang terlihat berantakan akibat angin yang tak berhenti berhembus di sekitar kami.
Krekkk....
Suara pintu terbuka terdengar, aku menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya berada di balik pintu. Mataku membulat, yakin bahwa dia adalah pemiliki kedai dan kini menginginkan kami--aku dan pria asing--untuk pergi dari depan kedainya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" wanita yang tak lebih tinggi dariku itu bertanya.
Mulutku terbuka, hendak memberi jawaban ketika wanita itu memotongnya begitu saja, "kalian harus masuk, hujannya sangat kencang, masuk lah dulu sampai selesai, kalian bisa mati jika terus menerus di sini."
Mataku membulat, sebelum aku sempat memberi respon, pria keriting itu tersenyum hangat pada si pemiliki kedai dan berjalan masuk, aku mengikutinya tak lama kemudian, dalam hati aku terus menerus mengucapkan rasa syukur, jelasnya aku tak mau terjebak di luar.
"Kalian bisa duduk di manapun, aku akan memgambilkan handuk, teh atau kopi?"
"Teh," jawabku bersamaan dengan si pria asing.
Aku menoleh ke arahnya, dia terlihat tak peduli dan segera duduk di salah satu kursi yang sudah di tunjuk oleh si pemilik kedai.
Wanita itu sudah bergerak pergi menuju sebuah pintu saat aku duduk di depan si keriting.
Tak ingin terlihat canggung, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Kedai ini sangatlah hangat, membuatku bersyukur, di sana sini terlihat meja serta kursi kayu, di beberapa tempat sudah ada tumbuhan asli, sesuatu yang sudah jarang kulihat di dalam kedai, tempat-tempat makan saat ini jauh lebih sering memberikan tanaman palsu sebagai dekorasinya. Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan mendapati tumbuhan-tumbuhan juga nampak tergantung. Aku segera menarik kesimpulan bahwa wanita itu sangat menyukai alam.
Seolah membenarkan kesimpulanku, si pemilik kembali datang dengan teh serta handuk di pundaknya sembari berkata, "anakku adalah seorang aktivis lingkungan dan dia memaksaku untuk memberikan tumbuhan asli di sini. Kalian menyukainya?"
Ia menaruh teh di hadapan kami dan memberikan kami dua handuknya. Aku memberikannya sebuah senyuman penuh rasa terima kasih sambil berkata "aku sangat menyukainya di sini."
"Aku juga," si keriting menjawab.
Wanita itu tersenyum senang sembari bergerak pergi kembali, "aku harus melanjutkan pekerjaanku di belakang sana, aku akan kembali ke sini secepatnya." Dengan itu, ia meninggalkan aku sendiri dengan si keriting.
"Apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini?" tanya si keriting tiba-tiba setelah ia menyisip tehnya.
Aku masih berusaha memgeringkan rambutku dan bajuku dengan handuk--yang mana sangatlah percuma. "Aku bisa bertanya yang sama padamu."
"Aku bertanya padamu terlebih dahulu."
Aku memutar bola mataku dan menjawab, "aku harus bekerja."
"Aku juga, sekarang ini perkiraan cuaca tidaklah bisa dipercaya, mereka bilang malam ini akan cerah, lihat apa yang terjadi sekarang."
Aku mengedikkan pundakku sambil berkata, "pemanasan global itu benar ada dan mengakibatkan cuaca yang berubah-ubah."
"Kau benar."
"Siapa namamu?" tanyaku setelah menyisip tehku sedikit dan merasakan hangatnya teh mengalir ke tenggorokanku
"Harry Styles."
"Harry? Orang tuamu menyukai Harry Potter."
Harry tertawa kecil sambil menggeleng. "Tidak semua orang yang bernama Harry menyukai Harry Potter."
Sebelum aku sempat menjawab, aku mendengar suara keras yang datangnya dari luar. Aku dan Harry saling bertatapan sebelum kami berdiri dan berlari menuju ke arah jendela, mencoba melihat apa yang terjadi dan mendapati sebuah pohon besar yang terdapat di depan kedai kini tumbang dan menghalangi jalan. Tubuhku bergetar dengan hebat, memikirkan bagaimana aku baru saja berdiri di sana dan ada kemungkinan besar aku akan tertindih oleh pohon tersebut, dan mati....
"Kau harus berhenti memikirkan hal buruk," kata Harry tiba-tiba, aku menoleh ke arahnya dan mendapti pria itu sudah memandangku dengan tatapan khawatir.
"Bisa saja itu kita! Jika wanita itu tak membawa kita masuk, sudah jelas pohon itu membunuh kita!" aku berteriak panik sembari memutar sebuah bayangan di mana aku dan Harry menarik napas terakhir akibat sebuah pohon.
Tangan Harry tiba-tiba sudah merangkulku, tangannya yang dingin mengusap lenganku dengan lembut. "Kau tak perlu memikirkan hal semacam itu, oke? Yang jelas kita sudah ada di sini dan kita selamat, memikirkan hal semacam itu tak akan membuat dirimu baik."
Aku mengangguk. Tanpa sadar, aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya dan menaruh kepalaku ke atas dadanya. Tubuhnya penuh dengan air dan terasa dingin, tetapi untuk suatu alasan, aku merasa nyaman dan hangat.
[-][-][-]
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Changes // 1D (One Shots)
FanficKumpulan cerita pendek One Direction. Collection of short story by yossi novia since 2018 All Rights Reserved.