Liam Payne : Ex

203 21 0
                                    

Terinspirasi dari yang di atas 👆
[Salah satu puisi di buku Connor Franta-note to self.]

---

Sudah terhitung tiga minggu semenjak Liam mengatakan bahwa akan jauh lebih jika kami memutuskan hubungan yang telah berjalan lebih dari dua tahun.

Huh, lebih baik katanya? Aku terkadang tak paham mengenai jalan pikiran laki-laki yang satu itu. Sampai di detik ini, aku masih tak menemukan satupun sisi positif dari hubungan kami yang retak saat ini.

Dua tahun kami menjalani hubungan dan tiba-tiba dengan seenaknya, dia membuang semua itu hanya karena sebuah pertengkaran kecil yang terjadi di tengah malam penuh dengan alkohol.

Oke, mungkin Liam menemukanku berciuman dengan laki-laki lain bukanlah sebuah perkara kecil, namun tetap saja, dia tidak seharusnya memutuskan hubungan kami hanya karena sebuah ciuman yang bahkan sama sekali tak ada artinya untukku.

Salah satu temanku berkata bahwa aku harus segera membicarakan ini bersama Liam, hanya saja tiga minggu terakhir ini aku sama sekali tak mendapati sosoknya di sudut manapun. Ia seolah menghilang begitu saja, bahkan sosial medianya juga mati.

Kemarin, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengiriminya pesan, mengatakan bahwa kami harus membicarakan semuanya di taman tempat kami biasa bertemu. Beruntung, dia tidak mengacuhkan pesanku dan mengatakan bahwa dia akan datang.

Maka, di sinilah aku sekarang, di atas sebuah ayunan berwarna kuning yang terpajang manis di salah satu sudut taman. Dari sini, aku bisa melihat air mancur buatan yang sekarang tengah dimatikan. Tak banyak orang yang berada di sini dan aku merasa cukup lega karena semua itu. Berada di tengah banyak orang bukanlah hal yang paling aku sukai, terutama ketika rasa gugup tengah menghantuiku tanpa ampun.

Oke, aku tidak sekuat itu, dan tentunya aku sangat amat gugup untuk bertemu Liam. Sesuatu dalam diriku mempertanyakan apakah semua ini adalah hal yang memang harus aku lakukan, sesuatu lain dalam diriku tahu bahwa ini memang harus aku lakukan, lagi pula tak ada lagi hal yang bisa aku lakukan, Liam sudah mengatakan bahwa dia berada di tengah perjalanan, sangat tidak mungkin aku membatalkannya begitu saja.

"Hey!"

Aku menoleh, Liam sudah duduk di ayunan berwarna biru yang mana adalah ayunan kedua di samping kananku, membiarkan sebuah ayunan merah muda menjadi penengah di antara kami.

Liam nampak tak jauh berbeda dari dirinya tiga minggu lalu yang itu artinya wajah nampak lelah dan tubuh yang mengurus.

"Hey," kataku ketika akhirnya aku berhasil mengeluarkan suaraku yang sempat tercekat.

Kami terdiam. Bisa aku rasakan dengan jelas suasana canggung yang menggelantung di antara kami berdua saat ini. Ini membuatku merasa sedih, bagaimana bisa hubungan kami terasa seperti dua orang asing yang tak pernah mengenal satu sama lainnya?

"Hmm ... aku minta maaf," akhirnya aku mulai berucap, bagaimanapun juga aku lah yang mengajak Liam ke mari, kupikir memang aku lah yang harus memecah keheningan dan mulai berucap. "Soal ciuman itu. Aku bersumpah aku menciumnya karena di bawah pengaruh alkohol, dan saat itu aku juga kesal karena kau tak kunjung datang, sebulan itu kau sangatlah sibuk, kita jarang berkomunikasi, dan berulang kali kau membatalkan janji kita. Aku melihat dia di sana, dia juga sendirian, kami mengobrol, dan entah kenapa aku berakhir menciumnya, namun semua itu hanya berlangsung tidak lebih dari lima detik, aku tersadar dan segera lepas dari ciuman itu."

"Aku juga minta maaf karena terus sibuk dan membatalkan janji kita. Pekerjaan sedang menggila, malam itu aku merasa lelah, dan aku melihatmu di sana berciuman dengan laki-laki itu, aku tak bisa berpikir apapun selain memutuskanmu."

"Liam ...," aku berbisik, "apakah ini artinya kau memaafkanku? Kau mau kembali padaku."

Liam menggeleng. "Ya dan tidak," ujar Liam, "ya aku memaafkanmu dan tidak, aku tidak bisa kembali padamu."

Aku terdiam sejenak, berusaha untuk memahami tiap-tiap kata yang baru saja meluncur keluar dari mulut Liam.

Huh?

"K-kenapa?"

"Tiga minggu ini aku banyak berpikir dan aku mulai sadar bahwa aku tak bisa bersamamu, aku tak bisa menjalani hubungan dengan siapapun saat ini, pekerjaan sedang menggila, emosiku sedang tidak stabil dengan banyaknya hal yang terjadi pada orang-orang terdekatku akhir-akhir ini. Aku sedang butuh waktu sendiri, dan menjalani hubungan denganmu atau orang lain bukan hal yang aku inginkan saat ini."

Liam memang menghadapi masa-masa sulit saat ini. Musibah tetiba menimpa orang-orang terdekatnya dan semua itu secara tidak langsung berhasil membuat emosinya menjadi berantakan.

"Aku pikir di tengah-tengah masa sulit seperti ini kau butuh orang lain."

"Ya, tapi bukan berarti aku membutuhkan kekasih. Aku tahu kau mungkin tak mengerti dengan semua ini, yang jelas aku sedang membutuhkan waktu sendiri."

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah."

"Lagi pula dengan ini kau juga bisa mencari laki-laki lain yang lebih baik dariku, laki-laki yang tidak sibuk dan tidak membatalkan janjinya begitu saja."

Aku mengangguk.

"Kita masih bisa menjadi teman."

Aku terdiam, memproses ucapan Liam sebelum akhirnya tertawa kecil.

"Teman?"

"Yeah."

Aku tertawa semakin keras, Liam melihatku dengan tatapan yang seolah mengatakan bahwa aku adalah makhluk aneh.

"Baiklah," kataku setelah berhasil meredakan tawaku.

Teman, huh?

[-][-][-]

I think there will be part 2 for this but I'm not sure.

Night Changes // 1D (One Shots)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang