Patah Tanpa Penawar

46 2 0
                                    

Teramat sering aku merasakan patah.
Namun yang kali ini ngilunya bertubi-tubi.
Sebab aku harus tetap terlihat baik-baik saja.

Aku lelah patah, aku bosan terluka.
Patah dan luka yang sama, yang disebabkan oleh orang yang sama pula.
Hanya saja kadarnya berbeda.
Yang kali ini bahkan bisa masuk kategori luar biasa.

Patah patah dahulu aku masih bisa mencurahkannya kepada ia. Ia,  sang Tuan pembuat luka.
Walau tentu saja, ia tak tahu menahu bahwa dirinyalah yang membuat hatiku terluka.

Tapi tetap membantu.
Luka yang kupunya mampu mengering, hanya dengan hangat rengkuh miliknya.

Kini tak lagi bisa kuperoleh rengkuh.
Rengkuh itu telah menjadi milik Puan lain.
Demikianlah, mengapa aku harus tetap terlihat baik-baik saja.

Walau nyatanya lautan darah dan nanah seakan tak ada habisnya, mengairi lubang hati yang terkoyak.

Dari dulu aku memang tak bisa memiliki hatinya.
Juga tak bisa merasuk kedalam pikirannya.
Membuat ia rindu sekaligus peluh di satu waktu.

Tapi setidaknya dulu, aku masih punya raganya.
Masih memiliki sebagian besar waktu luangnya.

Sekarang aku sudah tak punya apa-apa lagi.
Tidak hatinya, tidak benaknya, tidak juga raga dan waktu luangnya.

Namun satu hal yang masih seperti dulu, dan tak pernah ia sadari.

Hatiku. Selamanya tetap jadi miliknya.

Untaian kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang