Labyrinth •6•

72 18 2
                                    

***

"Ini bakal memakan waktu lama, jadi kamu harus sabar."

Ucap laki-laki itu kepadaku. Aku hanya mengangguk paham. Aku hampir saja tadi menoleh ke belakang saat suara yang sangat familiar bagiku terdengar sedang minta tolong.

Dengan cepat tangan orang di sebelahku memegangi kepalaku agar tidak kelepasan menengok. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab di otaku. Walaupun aku sangat ingin tahu, tapi nyaliku menciut saat mata cowok ini melihatku. Aku benar-benar bingung.

Kami melanjutkan perjalanan. Sepertinya jalan yang kita lalui hanya ini-ini saja sedari tadi. Ingin sekali bertanya, tapi malah melihat rahang tegas milik laki-laki itu yang sangat indah. Ku urungkan niatku.

"Masih lama?" tanyaku sambil duduk di emperan toko yang sepi.

Ku selonjorkan kakiku yang hampir melepuh karena harus berjalan selama 6 jam. Bekal minuman yang aku bawa dari penginapan juga sudah menipis. Jika tidak bisa sampai hari ini, maka dengan terpaksa aku harus meminta minum dia. Aku juga tidak mau mati karena dehidrasi.

"Permisi?" kataku sebelum bertanya. Bagaimanapun aku belum mengenalnya, bahkan aku tidak tahu siapa namanya.

Dia menoleh.

"Kira-kira berapa lama lagi? Minuman aku udah habis. Aku juga harus belajar untuk ujianku," paparku seolah ini sangatlah penting.

Dia tidak menjawab. Tangannya membuka resleting tas miliknya, lalu mengeluarkan sebotol air putih yang masih penuh belum tersentuh. Tanganku tergerak mengambilnya, kubuka tutup botolnya lalu kuteguk air beberapa kali.

Tak selang lama, dia mengambil beberapa buku yang cukup tebal dari dalam tasnya. Pertanyaanku, apa tasnya ini ajaib? Selalu menyediakan apa yang ia inginkan. Jika iya, aku juga ingin memilikinya.

"Ini buku yang membuatku berada disini," katanya sambil memberikan buku tebal itu.

"Ha? Bukannya kamu disini waktu kelas 11?" kutanya.

Dulu dia pernah bercerita kepadaku. Kalian juga pasti ingat, jika ia pindah ke sini saat kelas 11. Lantas, untuk apa buku UN dengan kisi-kisi terlengkap ini berada di tangannya.

"Karena orangtuaku selalu menargetkan anaknya mendapat nilai ujian semaksimal mungkin. Sampai-sampai dari kelas 10 aku harus memahami materi yang sama sekali asing bagiku," jelasnya tidak menatap wajahku yang setia mendengar ia bersuara.

Dia berdiri, membuatku ikut berdiri. Dia melangkahkan kaki jangkungnya, aku hanya mengekor dibelakang. Banyak orang yang berlalu lalang, namun tidak juga mereka saling mengobrol. Sepertinya desa ini, desa para orang bisu dan tuli.


***

Matahari telah berganti dengan bulan purnama. Suasana mencekam menghantuiku, aku tidak takut kehilangan nyawaku. Tapi aku takut, tidak sempat melihat wajah kedua orangtuaku. Terdengar sama saja, tapi itu sangat berbeda.

Aku masih terus berjalan mengekor orang di depanku. Mataku terbelalak saat tangan laki-laki itu memegang kerah seseorang yang lewat berlawanan arah dengan kami.

Nafasku terhenti sejenak, aku berusaha memahami apa yang kulihat. Aku melihat jari tangannya mengeluarkan kuku yang teramat panjang dan tajam. Dia menggoreskan kuku tajamnya ke leher warga yang lewat hingga keluar darah segar dari pembuluh darah yang berdiam di lehernya.

Aku menelan salivaku. Hingga akhirnya aku teringat ucapan-ucapannya siang tadi, "jangan pernah tanya tentang apa yang aku lakukan."

Ku urungkan niatku menyelamatkan warga tadi. Toh, aku juga tidak yakin. Warga tadi manusia atau hanya bayangan ghaib. Aku hanya menonton laki-laki itu menghabisi nyawa sang warga berpakaian pemulung.

Walaupun mimik wajahku sebisa mungkin untuk biasa saja. Namun perasaan ngeri saat melihat pembunuhan adalah hal yang sangat sensitif bagi masyarakat awam sepertiku.

***

Labyrinth [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang