Labyrinth •8•

78 16 3
                                    

***

Sudah hampir sepuluh hari aku bersamanya melakukan perjalanan yang sama setiap harinya. Tidak menemukan jalan keluar, bahkan sudah hampir melewati seratus jalan yang sama. Dan menyaksikan orang itu menghabisi dan memakan seorang warga desa setiap malam.

Aku hanya meminum air putih selama sepuluh hari ini. Anehnya, aku tidak merasa lapar. Apa ini juga termasuk dari keanehan perjalanan tanpa ujung ini?

Siang kali ini sangat terik dibandingkan hari-hari kemarin. Apa mungkin ini sudah siklus cuaca yang sangat panas di kelipatan sepuluh? Aku hanya bisa memunculkan pertanyaan di kepalaku tanpa berani mengucapkannya dan mendapatkan jawaban dari laki-laki aneh yang bersamaku.

Kata yang menggambarkan keadaanku kali ini adalah: lelah, rindu, dan takut. Lelah karena aku harus berjalan dengan kakiku selama sepuluh hari ini. Rindu, aku sangat merindukan orangtuaku dan juga Jessica, teman sebangkuku. Takut, karena laki-laki ini akan menghabisi ku sama seperti menghabisi nyawa orang-orang lainnya.

Aku muak. Aku memberanikan membuka suara kepada orang yang berjarak sekitar tiga langkah dihadapan ku.

"Woy!" entah sejak kapan aku mulai memanggilnya dengan informal.

Dia menoleh, lalu mengangkat sebelah alisnya. Nampak wajahnya yang datar dengan khas-nya, namun masih terlihat tampan.

"Kapan kita sampe?" tanyaku.

Terdengar tidak sopan, dengan nada suaraku yang seperti menantangnya.

"Nggak tahu. Sabar aja," jawabnya santai. Ia berlalu melanjutkan perjalanan ini, aku juga ikut mengekor dibelakang nya.

Aku mendengus, lalu ku langkahkan kakiku dengan sedikit menghentakkannya. Tunggu, bukan sedikit. Tapi aku menghentakkannya dengan sangat kencang, agar dia bisa mendengar aku kesal dengan jawaban yang ia berikan.

Tanganku memegang buku yang ia berikan entah kapan, yang isinya rangkuman ujian. Aku membukanya sambil berjalan. Aku tidak takut jatuh, toh orang dan apapun yang ada di desa Labyrinth ini sepertinya ghaib, alias tidak bisa menyentuhku.

Bahasa menyentuh terlalu ambigu, mengenaiku mungkin lebih cocok.

Aku membaca bab demi bab yang ditampilkan di halaman buku itu. Aku berusaha memahaminya, namun aku malah menggaruk belakang tengkukku yang tidak gatal. Aku juga memicingkan mataku terlihat sekali aku sedang kebingungan.

Aku menggumam semauku, apalagi materi yang ada di buku ini sangat banyak. Aku menyesal, dulu aku tidak mau mendengarkan guru yang menjelaskan pelajaran di depan kelas. Aku juga lebih memilih tidur daripada mengerjakan tugas. Aku lebih memilih membaca komik daripada membaca buku pelajaran dan ensiklopedia.

Aku seharusnya melakukan ini saat awal aku naik ke kelas 12. Memang benar, penyesalan memang datang di akhir.

Laki-laki di depanku memberhentikan langkahnya, dan menengok ke arahku. Dia tersenyum simpul. Mengarahkan kakinya menghampiriku yang tengah sibuk bergulat dengan huruf-huruf maupun angka yang bergelimang di kepalaku.

Jarinya menunjuk kepada materi yang sedang berusaha aku pahami, aljabar.

"Bilangan yang belum kita ketahui itu disebut 'x'," jelas dia kepadaku. Aku mengangguk paham.

Mengapa huruf 'x' yang digunakan? Bukankah banyak huruf lain selain 'x' di dalam alphabet?

"Karena udah ditetapin dari dulu. Para ilmuwan juga udah pada setuju. Mendingan nurut aja deh," lanjutnya seolah menjawab apa yang sedang aku pikirkan.

Jika dia bisa menjawab pertanyaan yang hanya aku simpan di otaku, berarti dia bisa membaca pikiranku.

Jadi selama ini?

Astaga, aku sangat malu.
Dia pasti juga tahu, aku di dalam hati sering sekali memuji ketampanannya dan kadang takut dengan perilakunya di malam hari.

Aku mengerjap dan memukul dahiku. Bodohnya aku!

***

Labyrinth [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang