Labyrinth •9•

87 14 1
                                    

***

Wajah kami sangat dekat, sampai-sampai nafasnya menyapu wajahku. Aku sangat gugup, melihatnya dari sangat dekat membuatku melupakan semua kanibalisme pada dirinya. Perlakuan yang ia lakukan kepadaku sukses membuat hatiku menjadi lebih berbunga.

Entah perasaan apa yang melandaku, ada panas yang menjalar di seluruh bagian hati maupun jantungku. Mulutnya bergerak mengucapkan materi yang sedang ia ajarkan kepadaku. Aku tidak bisa mencerna apa yang ia katakan, aku hanya tahu satu hal, dia sangat tampan.

"Udah ngerti?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

Aku gelagapan menjawab pertanyaan yang baru saja terlontar. Aku bingung mencari alibi, apakah aku harus berbohong? Sejujurnya, sedari tadi aku tidak memperhatikan ucapannya. Aku hanya memperhatikan wajah tampan miliknya itu yang selalu menggoda imanku.

"Emm.. udah kok," jawabku sambil menampilkan senyum dadakan.

"Kalo udah, cobain ngerjain yang ini," dia menyodorkan buku dengan jari telunjuk menunjuk sekumpulan soal prediksi tahun ini.

"Eh, kalo aku manggilnya informal gimana? Kan kita juga udah barengan lebih dari sebulan?" tanyaku tanpa memperhatikan suruhnya kepadaku.

Dia nampak berpikir sejenak. Aku memainkan pulpen yang setia kugenggam dari tadi.

"Boleh deh."

"Beneran? Kita juga umurnya nggak jauh beda, jadi nggak usah sopan-sopanan lah."

Dia mengangguk setuju dengan pernyataan yang aku ucapkan barusan. Aku tersenyum menang, ku tatap matanya lekat-lekat. Semakin tampan saja wajahnya. Aku alihkan pandanganku sebelum aku khilaf.

Kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang dengan akar gantung panjangnya yang menyaingi rambut kuntilanak penunggu pohon pisang. Suasana sejuk membuatku lebih mudah berimajinasi dengan wajahnya itu.

Bicara apa aku sedari tadi?
Apa aku sudah gila?
Menyebut orang keji pemakan manusia itu 'tampan' ?
Hello, sadar oy!

Aku memukul kepalaku yang memikirkan hal sangat bodoh, sambil mengatakan "Nggak mungkin" berulang kali.

Dia memandangku dengan tatapan aneh. Aku yang menjadi salah tingkah langsung menggaruk tengkuk kepalaku yang tidak gatal.

"Kenapa?" tanyanya seolah tahu aku sedang merasa tidak nyaman.

"Oh, nggak-nggak ada apa-apa."

"Yaudah ini kerjain!"

Aku menatap soal yang sama sekali tidak terlintas diotaku ketika aku membacanya. Mungkin, jika aku tadi memperhatikan dia, aku setidaknya bisa satu atau dua soal. Tapi sekarang? Aku tidak bisa menjawab satu soal pun.

Aku menggaruk kepalaku, sambil seolah membaca soal dengan penuh konsentrasi. Dia menepuk pundakku lalu tersenyum, "Kalo nggak ngerti.. bilang dong! Pake malu segala lagi."

Pipiku panas. Astaga, aku merona hanya karena senyumannya. Aku benar-benar gila sekarang!

Kutampilkan senyum, lengkap dengan cengiran yang selalu aku tunjukkan jika aku berbuat salah.

Laki-laki itu menggerakkan tangannya mengambil buku yang berada di pangkuanku. Dia menjelaskan materi tadi, aku sekarang akan benar-benar memperhatikan.

Aissshhh

Susah sekali mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Selalu kepalaku menghadap ke arah dia, seperti sudah stuck.

Tiba-tiba ada tangan menutup mulutku. Aku terkesiap melepaskan tangannya dari mulutku, dia sudah kurang ajar.

"Mingkem dong! Emmm," ejeknya sambil menutup mulutnya dengan berlebihan.

Aku memegangi mulutku, reflek.

"Apaan sih Lo? Hehe," elesku yang semoga dia mengganti topik perbincangan ini.

"Lo kenapa jadi mangap-mangap gitu?"

"Siapa yang mangap?"

"Elo."

"Siapa bilang?"

"Gue. Lo ngeliatin gue ya?"

"Pede gila."

"Yaudah. Lanjut,"

Dia kembali mengucapkan materi yang sebenarnya sia-sia, karena aku belum bisa fokus belajar saat ini.

Labyrinth [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang