2

240 9 0
                                    


"Yang sulit itu bukan cara melupakan. Hanya sebuah kenangan yang mengikat itulah yang menyulitkan, membuat semuanya tidak bisa terlupakan."

Suasana rumah sakit semakin genting. Meskipun terlihat sepi, namun terdapat sebuah kecemasan yang terbendung dalam hati seorang pemuda yang berpakaian rapi mengenakan jas dan kemeja putih. Malam ini adalah hal yang ia impi-impikan tadinya, namun setelah kabar buruk menyapa dirinya---bahwa calon tunangannya telah meninggal dunia, membuat Bisma seperti dihadapkan sebuah hantaman dari pecutan yang teramat pedih.

"Gua gak akan pernah bisa maafin orang yang udah buat calon istri gua meninggal. Gua gak akan pernah bisa."

Amarah Bisma semakin membara. Gejolak dendam semakin terlihat jelas dalam raut wajahnya. Bisma tidak akan pernah bisa memaafkan kesalahaan fatal seseorang yang sudah menghilangkan nyawa Risa---calon istri Bisma.

Saat Bisma telah sampai di ruang jenazah. Kaki Bisma gemetar hebat, air matanya jatuh membasahi pipinya. Bisma seakan tidak kuat menyaksikan kepahitan ini. Bisma tidak pernah membayangkan semua ini sebelumnya. Ini kepedihan yang teramat pedih dalam hidupnya.

"Risa," panggil Bisma gemetar saat mendekati jasad Risa yang terbujur kaku tak bernyawa. "Kenapa kamu ninggalin aku secepat ini," ucap Bisma sambil menangis pilu.

Lalu, Bisma mencium kening Risa untuk yang terakhir kalinya. Sekuat tenaga Bisma berusaha untuk mengiklaskan Risa. Namun tetap saja dendamnya masih membara pada seseorang yang telah menghilangkan nyawa Risa.

"Gua gak akan pernah memaafkan orang yang udah membuat Risa meninggal!" Perkataan Bisma penuh dengan penekanan, meskipun suaranya terdengar begitu samar---seperti bisikan.

Sementara di luar sana terdengar suara-suara seperti perdebatan antara beberapa orang. Bisma pun mengalihkan pandangannya sejenak, lalu menghampiri sumber suara tersebut tanpa menampakkan diri pada orang-orang yang sedang berdebat di sana.

"Saya akan bertanggungjawab atas kesalahan fatal yang dilakukan oleh pegawai saya. Tapi ... Saya mau semuanya diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Karena ini kecelakaan, bukan hal yang dilakukan secara sengaja," ucap seorang lelaki paruh baya yang tengah membela karyawannya.

"Risa anak saya sudah meninggal! Kata maaf tidak akan pernah bisa membuat Risa hidup lagi!" Jerit tangis seorang wanita berhijab yang tak lain adalah Ibunda Risa yang tengah melemparkan luapan emosi pada seseorang yang berada di hadapannya.

"Saya akan bertanggungjawab, Tante." Ramanda berujar seraya menunduk dan menangis. Ramanda hanya pasrah, jika dia memang harus dipenjara, ia akan menanggung semuanya.

Ini adalah hal terberat bagi Ramanda. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Kamu memang pantas dipenjara! Kamu pembunuh!!" Ibunda Risa semakin meluap tangisannya, memaki Ramanda sampai membuat Ramanda terhentak dalam isakannya.

"Saya bukan pembunuh, Tante," ucap Ramanda getir, jelas terlihat di sepasang mata Ramanda yang begitu memilukan. Kepahitan macam apa ini?

"Kamu pembunuh!"

Suara isakan Ibunda Risa semakin menjadi-jadi, begitupun dengan Ramanda yang dimaki-maki tiada henti. Sementara Ayahanda Risa hanya diam saja, sedari tadi melihat Ramanda justru seperti ada yang disembunyikan.

"Sudah, Mah. Gadis ini tidak bersalah, dia tidak sengaja menabrak Risa. Dia bukan pembunuh. Sebaiknya kita mengurusi jasad Risa," ucap Ayahanda Risa seperti ingin menghindar dari gadis bernama Ramanda yang kini sedang berdiri tepat di hadapannya.

Apakah Ramanda mengenal Ayahanda Risa?
Tentu TIDAK! Apa yang sebenarnya Ayahanda Risa sembunyikan, sampai harus menghindar dari Ramanda.

Ayahanda dan Ibunda Risa pun berlalu tanpa sepatah kata lagi. Risa masih menunduk penuh dengan penyesalan. Sementara bos besar Ramanda nampak memasang wajah penuh kekecewaan pada Ramanda.

"Hari ini juga kamu saya pecat!" Ucapnya pelan, namun penuh penekanan. Kemudian ia berlalu meninggalkan Ramanda sendirian.

Ramanda hanya terisak saja. Ia tidak tahu mengapa hal semenyakitkan ini bisa terjadi pada dirinya.

Sementara Bisma yang sedari tadi mendengar perdebatan itu dari kejauhan terlihat mengepalkan tangan penuh dendam. Menatap Ramanda dengan tatapan yang sangat mematikan. Tanpa pikir panjang, Bisma menghampiri Ramanda yang tengah menangis terisak tersebut.

"Ikut gue!" Tanpa basa-basi, setelah Bisma menghampiri Ramanda, Bisma menarik kasar pergelangan tangan Ramanda, membuat Ramanda merintih kesakitan.

"Aw. Kamu siapa?" Rintih Ramanda.

Kemudian Bisma menarik Ramanda menuju tempat yang begitu sepi. Tatapan tajam Bisma tiada henti menatap Ramanda sangat mematikan. Bisma menyudutkan Ramanda pada sebuah tembok, sementara kedua tangan Bisma menjulur ke tembok, telihat seperti mengurung Ramanda agar tidak bisa lepas dari perangkap Bisma.

Bisma mendekatkan wajahnya pada wajah Ramanda, membuat Ramanda tak dapat berkutik apa pun. Ramanda tidak mengenal Bisma, mengapa pemuda itu menikamnya seperti ini?

Bisma menatap tajam Ramanda, "lo siapa?" Tanya Bisma, deru napas aroma mint itu tercium jelas oleh Ramanda. Kemudian Ramanda memberanikan diri membalas tatapan tajam Bisma.

"Seharusnya aku yang nanya. Kamu siapa?" Tanya Ramanda pelan.

Bisma berdecak seraya tersenyum pahit. "LO SIAPA?!" Bentak Bisma kedua tangannya beralih memegang kedua bahu Ramanda kasar, membuat Ramanda tersentak kesakitan. "Kenapa lo berani merenggut kebahagiaan gua! Lo udah membuat Risa meninggal! Lo udah buat orang yang amat gua sayangi meninggal! Lo itu SIAPA?!" Sentak Bisma.

Ramanda hanya menangis dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Lalu Ramanda menempelkan kedua telapak tangannya memohon, berusaha meminta maaf pada Bisma, karena telah membuat semuanya kacau.

"A-aku ... Mi-minta maaf," ucap Ramanda.

Lagi-lagi Bisma tersenyum pahit, "maaf?"
Bisma seperti meremehkan permintaan maaf Ramanda.

Ramanda mengangguk, berusaha semaksimal mungkin menahan isak tangisnya. Air matanya terus terjun membasahi pipi.

"Jangan salahkan gua, karena gua pasti akan menyakiti lo jauh lebih dalam daripada ini. Tolong camkan itu!" Ancam Bisma. Kemudian, Bisma berlalu meninggalkan Ramanda sendirian.

DEG!

Setelah Bisma pergi, Ramanda semakin terisak pilu. Ia menjatuhkan lututnya ke lantai. "Ibu ... Hiks, Manda takut." Ramanda terisak ketakutan. Entah pada siapa Ramanda harus berlindung, selain pada Ibu---satu-satunya seseorang yang ia punya di dunia ini. Tapi, tidak mungkin bisa Ramanda berbagi ceritanya ini pada Ibunya yang saat ini kondisinya sering sakit-sakitan. Ramanda tidak akan tega, ia takut membebani pikiran Ibunya atas masalah yang saat ini menimpanya.

Bersambung ....

DiamondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang