9

244 8 2
                                    

"Hujan juga tahu bagaimana ia bercerita. Sama halnya seperti air mata, menetes di saat kata tak mampu terucap, dan ia bercerita dalam isyarat luka, rasa dan sebuah cinta yang menghasilkan cerita."

***

Bisma memberhentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah berdesign minimalis modern. Manda tampak kebingungan kenapa Bisma membawanya ke rumah ini? Yap, rumah ini bukan rumah mewah kemarin, bukan juga villa semalam. Lantas, ini rumah siapa?

"Ini rumah siapa?"

"Rumah gue,"

"Rumah kamu?"

"Ya."

"Tapi kenapa kita ke sini?"

"Karena gue nggak mau tinggal seatap sama Rangga. Gue nggak mau Rangga ikut campur sama kehidupan yang lagi gue jalanin. Rumah kemarin itu adalah rumah keluarga gue, dan rumah ini adalah rumah gue sendiri."

"Lho kenapa?"

"Harus gue jawab juga?"

"Bis, tapi kan ..."

"Kenapa?"

"Kita tinggal berdua di sini?" Ucap Manda pelan. Ingin rasanya ia loncat keluar dari mobil ferari ini untuk lari dari kisah konyol yang terus menjebaknya di dalam perangkap Bisma yang tanpa ampun.

"Ya."

Bisma mengangguk santai serta mengatakan 'Ya.' Bicara apa dia, jelas ini membuat Manda gelisah. Manda menjadi ingat tentang pepatah yang mengatakan kalau lelaki itu ketika ia memiliki tahta dan harta, ia pasti akan tergoda banyak wanita, yang pada akhirnya ia melupakan arti kata cinta. Bisma memiliki semuanya; harta, tahta, paras rupa, dan dikelilingi banyak wanita. Tapi satu yang tidak ia punya, yaitu; cinta.

"Kita belum menikah," ucap Manda dengan tatapan sayu, supaya Bisma sadar dengan semua itu.

"Kenapa, ada yang salah?"

Bebal! Bisma keras kepala. Gila, Bisma benar-benar gila. Apa yang sebenarnya yang ia pikirkan? Jelas ini membuat serangkaian cerita ini menjadi sesuatu yang memuakkan. Sangat memuakkan.

"Lo cuma akan jadi pembantu di sini!" Seru Bisma.

Degub jantung Manda yang tadinya kembang-kempis karena berpikir yang tidak-tidak terhadap Bisma, akhirnya Manda menghela napas lega. Kalau hanya sebagai pembantu, ia pasti akan menerimanya. Setidaknya, menjadi pembantu adalah pekerjaan yang mulia dibandingkan harus menjadi budak nafsu.

Manda tersenyum lega, "aku bersedia menjadi pembantu. Apa pun akan aku lakukan asal itu baik. Aku bahkan lega karena kamu tidak mencintaiku dan aku cukup tenang karena kamu juga tidak mengistimewakanku. Aku lega. Karena aku takut. Entah kenapa aku takut jadi yang istimewa dalam hidup kamu. Bukan bermaksud aku untuk GR, tapi kalau pun terlintas dalam pikiran kamu untuk jatuh cinta padaku, aku harap kamu membuang jauh-jauh pikiran itu," ucap Manda. "Oke, sebaiknya aku turun dari mobil, Tuan. Aku akan melakukan tugasku," ucap Manda (lagi) yang langsung membuka sabuk pengalaman yang menyilang di tubuhnya. Manda pun keluar mobil tanpa menunggu aba-aba dari Bisma. Meski perasaannya masih sakit, tapi Manda berusaha untuk menganggap kalau semuanya baik-baik saja.

Bisma yang masih di dalam mobil terdiam dengan tatapan tertuju lurus ke depan---melihat ke arah Manda yang berjalan memasuki rumah tersebut dengan wajah yang berseri. Manda merasakan bahwa masalahnya akan terselesaikan, hanya saja ini soal waktu.

"Gadis itu memang bodoh. Dia nyuruh gue buat nggak jatuh cinta sama dia. Tapi jelas, kejadian semalam membuat gue berhasil jatuh cin----hm." Bisma tidak mampu melanjutkan kalimatnya, ia merasakan detak jantungnya berdetak cepat. Detak cinta? Entahlah.

DiamondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang