"Aku mencintaimu. Kau adalah anugerah terindah yang pernah hadir dalam hidupku."
•••
Prolog
Sebuah kereta kuda meluncur di jalanan Mayfair. Sebuah tangan sekilas terlihat manakala tirai yang menutupi jendela kereta tersingkap. Siluet gadis itu terlihat remang-remang di bawah sinar rembulan yang menembus kaca.
"Aku tidak percaya kita benar-benar kembali." Ungkap Lydia. Entah sudah beberapa kali pelayan pribadinya berkata demikian, Jane sudah berhenti menghitung ketika kapal yang membawa mereka mendarat di Dover.
Sementara Jane menatap muram ke bangunan-bangunan yang melintas, ia mendesah panjang. Andai Jason tidak bertunangan dan akan menikah Jane pasti enggan kembali.
"Kau terlihat tidak senang Jane." Sergah Lydia heran. "Bukankah kau seharusnya senang?"
Jane tidak tahu. Sebagian dirinya merindukan Inggris, kampung halamannya. Ia rindu berkuda di Hyde Park ketika masih sepi, menyusuri danau Serpentine, festival api anggun di rumah pedesaannya setiap musim gugur, dan terutama berkumpul dengan ibu dan kakaknya.
"Entahlah Lydia, Aku tidak tahu." Itu adalah ungkapan jujur, gadis itu menatap ke kejauhan, ke dalam pekatnya malam. Mau tidak mau pikirannya melayang ke kenangan lima tahun lalu yang mati-matian ingin ia hapus. Dan satu bayangan menyelinap ke dalam benaknya tanpa bertanya.
***
Chapter 01
London, 1818.
White, salah satu klub pria paling ekslusif di Inggris. Season baru saja dimulai. Tidak sedikit bangsawan yang sudah datang ke London untuk menyambut datangnya season. Lihat saja orang-orang yang berada di meja-meja judi itu, mereka adalah nama-nama dari sekian kelompok elit di Inggris ini.
Michael Jonathan Raleigh, putra kedua Earl of Raleigh menatap geli pria-pria di sekitarnya. Ia menatap kartunya puas, sepertinya ia akan menang lagi malam ini. Sementara para lawannya duduk gelisah sembari diam-diam melirik ke samping kanan dan kiri. Michael mengenali itu sebagai pertanda barangkali mereka sedang tidak beruntung. Sudut bibir pria itu terangkat sedikit, sejujurnya ia sudah bosan dengan permainan kartu ini. Ia selalu keluar sebagai pemenang, entah sepertinya dewi fortuna begitu tergila-gila padanya. Sudah empat putaran dan ia masih saja kagum dengan keberuntungannya. Kali ini Michael tahu ia harus berhenti.
Pada dasarnya Michael orang yang sangat menyukai tantangan tapi ia selalu tahu kapan waktunya harus berhenti. Itulah yang membedakan ia dari orang-orang itu. Michael berniat menyudahi penderitaan mereka. Pria itu tidak tega menatap Earl of York yang bersimbah keringat dingin. Pria-pria seperti York yang selalu gelap mata ketika berjudi, Michael bertanya-tanya apa pria malang itu bisa pulang, ia tidak akan heran jika York mungkin saja mempertaruhkan kereta kudanya.
Michael meletakkan kartu-kartunya di atas meja. Semua mata tertuju padanya. "21, Vingt et Un." Seru Bandar.
Bahu-bahu di sana melesak lesu, Michael menyeringai. Ia menyesap whisky dari gelasnya. "Kurasa sudah cukup sampai di sini Gentleman." Ujar Michael.
York menatapnya sengit, rahangnya mengatup keras. Ia jelas sudah kalah telak. Tak berkomentar pria itu pergi dari mejanya. Teman-teman prianya menatap kepergian York dengan prihatin. Mereka menoleh pada Michael. "Seharusnya York tidak ceroboh menantangmu." Celetuk Campbell.
"Dia sudah lama penasaran denganku."
"Ya. Karena kau selalu menolak bermain kartu."
Michael menyandarkan punggung, "Aku sudah kehilangan minat pada permainan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
A DAY IN THE PAST [PROSES PENERBITAN]
Historical FictionKisah masa lampau takkan pernah lekang oleh waktu. Gemanya mahsyur sampa ke telinga masa depan. Berbagai negara memiliki tintanya sendiri, menyebar dan tertuang ke dalam kertas kehidupan. Tertegun sang waktu saat menjadi saksi setiap kisah yang berg...