"Aku mungkin tak bisa memberi kekuasaan, namun aku bisa memberimu sebuah arti hidup."
•••
Chapter 01
"Istana... Istana akan mengirimkan lamarannya untuk putri kita..."
Berita itu tentu saja membuat keluarga Yang senang, seorang bangsawan rendah seperti mereka akan mendapatkan berkah dengan datangnya lamaran dari istana.
Namun tidak semudah itu bagi mereka untuk memasuki jajaran elit istana, jalan terjal dan berliku politik istana mungkin akan menyulitkan langkah sang hati untuk menemui cintanya.......
***
Hujan hari ini membuat muram suasana, rintik air dari langit yang terus menetes seolah tak ingin berhenti, udara pun terasa semakin dingin menusuk sampai ketulang.
Di depan gerbang megah nan gagah istana joseon seorang gadis terlihat tengah merapatkan jang - ot [mantel] nya, sesekalinya di usapkannya kedua tangannya pada lengannya yang terasa meremang karena dingin, pipinya yang putih terlihat kemerah - merahan karena terpaan angin dingin yang berhembus.
"Agassi... kita sebaiknya pulang, tuan mungkin akan terlambat," seorang gadis dengan hanbok lusuh dibelakang terlihat menegurnya.
"Sebentar lagi dalso - ya... sebentar lagi," gadis itu terlihat keras kepala walaupun ia sebenarnya sudah merasa sangat kedinginan.
"Anda bisa demam Agassi," pelayannya terlihat semakin cemas.
"Tidak... tidak masalah," ucapnya tanpa menolehkan kepalanya kearah pelayan setianya tersebut.
Gadis itu menyerah, ia tak bisa lagi memaksa sang nona untuk kembali
Yang Hae Young gadis cantik dengan wajah ayu itu bernama, hae young adalah putri dari seorang guru filsafat di sungkyungkwan, ia gadis yang sederhana, lembut dan juga penuh santun.Hari ini adalah hari yang sangat penting untuk sang ayah, ayahnya di panggil ke istana untuk mengikuti seleksi pemilihan guru untuk calon pangeran mahkota, itu tentu membuat sang ayah yang sudah mengabdi belasan tahun di sungkyungkwan merasa terhormat walaupun ia tak berharap banyak.
Hujan semakin deras , hae young dan pelayannya memutuskan untuk berteduh di samping gerbang istana, ia tak menyerah, ia ingin menjadi orang pertama yang mendapat berita gembira dari sang ayah.
Pintu istana tiba - tiba dibuka, suara derap kuda terdengar dari kejauhan, suara derap langkah yang begitu menghujam tanah itu pasti membuat siapa saja akan menyingkir agar tak tertabrak.
Karena rasa penasaran hae young mencondongkan sedikit tubuhnya untuk melihat, sebuah kuda putih yang gagah terlihat dari kejauhan, seorang pemuda tampan terlihat dingin menunggangi kudanya yang terlihat gagah.
"Omooo.... Agassi... itu pangeran ketiga !!!" ujar dalso.
"Benarkah ?" pikirnya.
Hae young memang belum sekalipun bertemu dengan calon pelamarnya tersebut, ia hanya mendengar tentang pelamarnya itu dari cerita - cerita keluarganya saja, pangeran ketiga adalah pemuda yang tampan, cakap dan pandai.
Hae young tertegun, ia tersipu, hae young tak menyangka jika pelamarnya setampan itu, hatinya berdebar tak karuan.
Pangeran ketiga melewatinya, hae young menaikkan jang - ot nya menutupi tubuhnya, ia malu jika harus bertemu pangeran ketiga dengan penampilan seperti itu, pintu gerbang istana dibuka, mata hae young terus mengikuti arah pangeran ketiga pergi namun kemudian matanya menatap seorang lelaki paruh bawa dengan wajah sendu disana, membungkuk sejenak ketika pangeran ketika melewatinya.
"Ayah," gumamnya, senyum di wajahnya menjadi hilang seketika.
Ayahnya berbalik dan mengenali putri bungsunya tersebut, wajah sendunya berubah menjadi lingkaran senyum yang indah.
Hae young tahu, itu adalah senyum palsu dari ayahnya , hae young menghela nafas sesuatu yang buruk pasti telah terjadi namun melihat sang ayah yang berusaha tersenyum iapun mengembangkan senyumnya.
Hae young mengenggam tangan ayahnya dan berpayung berdua tanpa bertanya apapun tentang pemilihan guru pangeran mahkota.
"Ayah... bagaimana kalau kita membeli ubi manis untuk ibu, saat menunggu ayah, aku dan dalso membeli 2 buah ubi manis dan itu benar - benar manis " hae young berusaha untuk menghibur sang ayah.
"Baiklah... ayah akan mentraktirmu ubi manis, apa putri puas hanya dengan ubi manis ?" sang ayah menepuk lembut punggung tangan hae young yang terasa dingin.
Hae young tersenyum, sebuah senyum yang diharapkannya bisa membuat bahagia hati ayah terhebatnya itu.
Ia selama ini gagal membuat senyum di hati ayah terhebatnya itu, ketika sang kakak meninggal harusnya ia tak menangis dan terus bersedih, harusnya ia tersenyum dan tak menambah beban kedua orang tuanya dan kini hae young berusaha untuk bersikap dewasa demi kedua orang tuanya.
***
Di istana joseon.
"Daebi - mama, pangeran ketiga ingin bertemu " suara serak dayang didepan kamar ibu suri mengumumkan kedatangan putra tirinya tersebut.
"Masuklah," jawaban ibu suri tersebut membuat pintu geser segera terbuka
Wajah tampan nan dingin pangeran ketiga muncul dari baliknya, pemuda 19 tahun itu memberi hormat dengan hikmat pada ibu tirinya tersebut."Ada apa eomma - mama memanggil saya ?" Tanya pangeran ketiga.
"Rencana itu... rumor sudah menyebar kita hanya tinggal..."
"Eomma - mama " pangeran ketiga memotong ucapan sang ibu tiri.
"Ada apa daegun ?" Tanya ibu tirinya.
"Rencana itu... saya tidak akan meneruskannya."
"Apa ?! apa kau bermaksud untuk mundur ?" ibu suri menatap wajah putranya lekat memperhatikan setiap ekspresi yang di tunjukkan pemuda itu.
"Itu..." pangeran ketiga seperti mencari - cari kalimat yang akan diucapkannya pada sang ibu tiri.
"Daegun... jangan bilang kau mundur ?" ibu suri menerka.
"Eomma - mama... saya hanya tidak ingin hidup sekarang... saya."
"Daegun ingatlah.." ibu suri dengan cepat memotong ucapan pangeran ketiga " ingatlah bagaimana mereka membuangmu, bagaimana mereka membuang ibumu dan bagaimana mereka menekan klan keluargamu dengan kekuasaan, kau... harus meraih kekuasaan itu."
Pangeran ketiga terdiam, ia kemudian mengangkat kepalanya dan menatap berani kearah sang ibu.
"Bisakah... saya hidup... hanya itu kini yang saya inginkan, daebi - mama... saya..." ucapannya tercekat sebelum ia berani untuk melanjutkannya kembali " saya akan membalas dendam saya dengan cara saya sendiri."
Ibu suri terdiam, dilihatnya raut wajah serius pemuda 19 tahun itu, pemuda itu tak ingin berada di lingkaran politik istana yang membuatnya jengah, Tapi sepertinya ibu tirinya tak menginginkan hal tersebut, ada rencana lain yang diperuntukkan untuk pangeran ketiga kesayangan ibu suri tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
A DAY IN THE PAST [PROSES PENERBITAN]
Historical FictionKisah masa lampau takkan pernah lekang oleh waktu. Gemanya mahsyur sampa ke telinga masa depan. Berbagai negara memiliki tintanya sendiri, menyebar dan tertuang ke dalam kertas kehidupan. Tertegun sang waktu saat menjadi saksi setiap kisah yang berg...