Orientasi Kopi

131 4 1
                                    


Tidak terdengar dering HP yang berbunyi didalam saku celana. Maksudku, semenjak ajakan lari itu, aku dan Erlis tidak saling menghubungi. Soalnya, aku dan dia tidak ada keperluan yang begitu penting.

  Satu bulan lamanya, setelah tidak bertemu, aku melihat Erlis di lantai 3 sedang berjalan. Aku yang ada di trotoar depan gedung Y melangkahkan kaki secara perlahan, bersama Alfi, Cecep, Edi dan Diky.

"Niel... liat tuh," Alfi menepuk pundakku.

"Apaan?" aku kaget.

"Itu si teteh UVO!" UVO adalah singkatan dari Ushuluddin Voice, Erlis anggota UVO.

"Mana?"

"Tuh!"

Sebenarnya aku tau, sih. Lalu aku melirik kearah atas.

"Ya? Ada?"

"Oh, iya. Terus gimana? Ha ha,"

"Elaaah! Udah jadiin aja tuh mantep, Niel. ha ha.." Alfi tertawa.

"Yah, apaan bang. Kagak lah, sekarang ga kepikiran untuk itu."

Aku menolak apa yang dikatakan Alfi bukan karena aku tidak suka atau tidak tertarik kepada Erlis. Terlebih, aku hanya ingin mencoba menenangkan pikiran, bukan waktunya untuk main-main. Aku selalu mengingat anjuran Agama untuk memantaskan diri dulu, sebelum mencari yang pantas.

Meskipun begitu, ada  terselip do'a agar berjodoh dengan dia. mungkin aku akan bertemu dengannya lagi, ketika kita sama-sama mencapai sukses, bisa 2,3,4 atau 5 tahun yang akan datang. Selalu aku harapkan pertemuan itu.

Aku bisa menunggu perasaanku kepada Erlis, akibat pengetahuanku tentangnya. Aku tahu dia bukan tipe wanita yang "Gampangan" untuk mudah dekat dengan laki-laki. Jadi, aku sedikit tenang. Aku bisa menjalani aktivitas tanpa khawatir dia akan menjadi tipe wanita yang terbuka.

Diapun sesungguhnya tidak perlu khawatir, karna aku belum mau seperti yang Alfi katakan, menjalin hubungan yang serius.

Aku merasa menjadi laki-laki yang berharga. Bagaiamana tidak, aku menyukai Erlis, meskipun tidak tahu apa yang Erlis rasakan. Tapi dari sisi yang lain, Erlis sudah memenuhi apa yang aku lantunkan dalam do'a, yaitu untuk menjaga dirinya sendiri, untuk nanti ketika aku dan dia siap. Tunggu saja, aku akan datang dan bilang ke orang tuanya Erlis, kalo aku ingin menikahinya.

--000--

Tahun 2015, masa orientasi mahasiswa baru akan dilaksanakan. Itulah pertama kalinya aku akan ngospek dikampus. Tapi, bagiku, ngospek mahasiswa baru itu tidak terlalu penting, toh, karna ngospeknya tiga hari. Intinya, membangun hubungan kedekatan dengan teman atau mahasiswa baru tidak hanya melalui ospek, tapi setelah acara ospek lah fase yang paling penting.

Rapat pertama dihari rabu malam terasa seru. banyak dari temanku yang berdebat mengenai konsep acara. padahal aku masih 6 meter diluar ruangan rapat. Teliingaku sudah bisa mendengar orang yang sedang berdebat.

Aku masuk, membuka sepatu didepan pintu, lalu duduk dan hanya diam. Karna aku tidak mengerti, apa yang sedang mereka lakukan.

Tapi bukan itu, ada wanita didepanku yang sama denganku, dia hanya diam, dengan senyumnya yang khas. Dia menilik kebelakang, bibirnya senyum, kepalanya sedikit miring ke kiri, tiba-tiba saja tangannya melambai dengan acungan tangan yang tidak terlalu tinggi kepadaku.

"Hai..." dia tersenyum. Itulah degupan jantung yang kurasakan melebihi argumentasi berdebat ketika rapat.

"Eh, panitia juga, kak... ko bisa?" tanyaku yang bingung seperti jetleg dari lantai satu.

Shining ErlisWhere stories live. Discover now