Tua Kusam

27 1 0
                                    


Siang ini, aku akan bertemu dengan Erlis di kampus. dua hari setelah dari pasar andir.
Bila kalian pernah bermain ke UIN Bandung, di dekat gerbang akan kalian temui gedung rektorat. Didekat gedung rektorat ada tempat panjat tebing, tapi sekarang memang sudah tidak ada. Disitu kami akan bertemu.

Kebetulan, ketika itu ada tempat kosong. Aku dan Erlis duduk. Didepan kami, sedang sibuk lima orang mahasiswa dan dua orang mahasiswi baru yang sedang berdiskusi Marxisme. Sudah menjadi tradisi seorang senior memberi pemahaman gerakan sosialis sebelum menjadi aktivis.
Kata orang sih, kalau yang belajar Marxis itu 'orang kiri'. Tapi belum tentu. Aku juga menyukai konsep Sosialis dari Marx. Lalu setelah membaca buku Prof Dawam Rahardjo tentang Islam sosial dan pembangunan, aku lebih menyukai Nabi Muhammad. Anekdot!

Diskusi itu berlangsung dengan seru. Sesekali mereka berdebat. Ada juga yang sampai emosi. Mungkin, karna terkadang mereka bertanya hanya untuk menguji saja. sudah tahu jawabannya, ditanya lagi. Maunya apa kalian ini?

Hari itu, aku dan Erlis tidak untuk berdiskusi marxisme. Tidak berdebat, lalu emosi, tidak juga untuk bertanya hanya untuk saling menguji. Karna, apa yang harus diuji? toh seandainya bila ada yang bertanya "Gimana perasaan kamu?" pasti aku dan Erlis sepakat untuk menjawab 'Bahagia!'

"Anter ke temen aja ya?" kata Erlis mulai beranjak dari tempat duduk.

"Di mana?"

"Gang kujang,"

"Iya, hayu. Bawa motor dulu.."

Erlis menunggu. 10 meter aku berjalan kemudian membawa motor.

"Yu!" kataku membetulkan helm.

"Dari jauh udah kelihatan kaya pangeran" kata Erlis menenteng tas.

"ha ha. Pangeran apa?" aku tertawa membuka kaca helm.

"Pangeran berkuda besi warna biru. Love you pangeran!" jawab dia dengan semangat.
Erlis itu memang suka begitu, menyenangkan.

"Eh ha ha. Love you too!" aku hanya tersenyum malu.
Menurut dia, aku adalah pangeran. dia sebut berkuda besi warna biru, maksudnya karna aku suka naik motor matic warna biru.

Aku disuruh berhenti oleh Erlis di Jl. Cipadung. Cipadung selalu penuh dengan aktivitas. kaki lima dipinggir jalan, mahasiswa yang mundar-mandir dan yang paling unik pengemis tua.
aku berhenti di depan pengemis tua yang menadahkan sebuah wadah kecil untuk menampung uang. akhirnya aku diam dan memperhatikan pengemis tua itu. Wajahnya yang lusuh, membuatku bertanya, apakah yang dirasakan oleh pengemis ini? kerutan di kulitnya yang hitam, matanya yang sayu, menambah rasa tanyaku tentang bagaimana caranya menjalani kehidupan Agama. bagi orang kaya, mensyukuri hartanya logis saja. Tapi bagi pengemis, apanya yang harus disyukuri? Tapi mudah-mudahan dia masih terus shalat. Aku berdo'a supaya dia tidak terlalu banyak memelas dan mengatakan itu takdir Tuhan.

Erlis menghampiriku.

"Yuk!" kata Erlis melihatku yang sedang menatap pengemis.

"Yuk!"

Ketika mau ngegas motor, tiba-tiba Erlis menepuk pundak.

"Eh, bentar!" Erlis membuka tas yang dipegangnya dan mengeluarkan uang.
Tanpa bicara lebar, Erlis langsung memberikan uang itu. bukan sekali dia melakukan seperti itu. di buah batu, alun-alun dan tempat lainnya pun dia selalu begitu.

Aku tidak banyak berkomentar. Maksudku, memberikan uang kepada pengemis dipinggir jalan adalah buah empati, begitupun yang aku lakukan dulu. seiring berjalannya waktu, aku mengerti, semua berubah dengan cepat. media, sekolah formal, sekolah informal, penyuluh, walikota bahkan presiden menggelorakan himbauan untuk tidak memberikan uang kepada orang miskin yang meminta-minta dipinggir jalan.

Shining ErlisWhere stories live. Discover now