Hoffen 2 - Dokter Tampan

19.3K 1.7K 68
                                    

2. Dokter Tampan

🍁🍁🍁
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang khalwat. Sabda beliau: "Janganlah sekali-kali seorang pria berduaan dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah syaitan."
(HR. Ahmad dengan sanad yang shahih).
🍁🍁🍁

"Ayana bisa ke bawah sebentar?" suara Weni, salah satu teman satu divisinya membuat Ayana yang sedang mengerjakan beberapa laporan menoleh.

"Kenapa Wen?" tanyanya bingung.

"Itu Mbak Ita, dia tadi jatuh didekat tangga," jelasnya.

"Innalillahi, kok bisa?" Ayana segera berdiri menghampiri Weni yang tadi memang dari dapur meminta dibuatkan minuman seperti biasa. Sayangnya telepon yang ada di meja Weni sedang rusak dan baru akan di servis sore nanti sehingga membuat gadis berhijab cokelat seperti Ayana itu memesan minum langsung ke dapur.

"Tadi Mbak Ita habis ngepel lantai dua, Ya. Terus Bu Tantri manggil dia. Mungkin karena lupa kalau lantai baru di pel atau mungkin terlalu buru-buru, Mbak Ita terpeleset, Ya. Terus dahinya kebentur dinding." jelas Weni sambil menemani Ayana yang melangkah sedikit terburu-buru.

"Terus sekarang Mbak Itanya dimana?" tanyanya.

"Ada di dapur sih. Lo bisa gak minta izin sama Pak Rudi supaya bawa Mbak Ita ke dokter dulu. Kasian Ya, dahinya memar dan sempat berdarah juga."

"Astaghfirullah, iya nanti gue minta izin deh sama Pak Rudi langsung." Ayana sedikit terkejut mendengar penjelasan Weni di akhir. Dan sudah pasti dia akan meminta izin langsung pada ketua pantry itu untuk membawa Ita ke rumah sakit.

"Makasih ya, Ya. Gue gak bisa nemenin lo. Kerjaan gue masih numpuk. Berkas lo gimana?"

Ayana menggeleng pelan, "Gampang gue mah. Dikit lagi selesai. Kalau Bu Ineke nanya gue, bilang aja gue izin dulu. Ntar gue lembur buat nyelesain berkas gue." ujarnya lagi meminta tolong Weni untuk mengatakan pada kepala divisi mereka jika menanyakan keberadaan Ayana.

"Sip!"

Sesampainya di pantry, Mbak Ita sedang mengompres dahinya yang memang terlihat memar. Ayana langsung menghampirinya setelah Weni pamit untuk kembali ke lantai tiga dimana ruangan mereka berada.

"Mbak Ita.. ya Allah, kenapa bisa jatuh begini Mbak?" ujarnya khawatir.

Ita menoleh dan tersenyum tipis. Ayana memang karyawan disana yang paling dekat dengannya, "Tadi buru-buru, Mbak Ay. Takut Bu Tantri kelamaan nunggu, ehh.. gak taunya malah jatuh begini." jelasnya membuat Ayana menggeleng pelan.

"Bu Tantri gak akan marah juga Mbak, kalau Mbak telat sebentar." katanya.

"Udah takdirnya mau jatuh, Mbak Aya." ujar Ita pelan.

Ayana menatap dahi Ita yang sudah terlihat membiru, gadis itu meringis pelan saat dilihatnya Ita meringis mengompres dahinya.

"Kita ke dokter ya Mbak?' ajaknya.

Ita menggeleng cepat.

"Ini gak apa-apa kok, Mbak Aya. Cuma memar aja," tolaknya.

"Gak gak gak.. kita ke dokter. Weni bilang tadi sempat berdarah juga. Gak boleh nolak ya Mbak Ita. Aya gak terima penolakan." balasnya kekeuh membuat Mbak Ita pasrah menerimanya.

"Mbak Ita tunggu disini aja. Aya izin ke Pak Rudi sebentar." ucap gadis itu seraya berdiri dan melangkah menuju ruangan Pak Rudi yang terletak tak jauh dari pantry.

• • •

Setelah mendapat izin Pak Rudi untuk mengantar Ita ke rumah sakit. Ayana memesan go-car untuk mereka berdua menuju ke rumah sakit yang paling dekat dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Sepanjang perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh itu, Ita harus mendengarkan Ayana yang mendadak cerewet dari biasanya. Membuat perempuan yang lebih tua dua tahun dari Ayana itu tertawa kecil.

Hoffen ✔️ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang