Hoffen 3 - Kajian di Istiqlal

18.1K 1.7K 49
                                    

3. Kajian di Istiqlal

🍁🍁🍁

Ayana melangkah pelan memasuki kawasan Istiqlal tempat dia biasa mengikuti kajian mingguan. Melihat jam saat ini biasanya Umi Fatimah dan beberapa temannya sudah menunggu disana. Hari ini Ayana memang sedang tidak enak badan. Maka dari itu, dirinya datang sedikit terlambat.

"Assalamu'alaikum Umi," ucapnya saat Umi Fatimah sedang duduk sendiri.

Ayana mengernyit karena tidak ada sahabatnya yang lain bersama Umi Fatimah. Membuat gadis itu langsung duduk di sebelah Umi Fatimah dengan raut bingung.

"Wa'alaikumussalam warohmatullah, Ya." jawab Umi Fatimah.

"Yang lain pada kemana Umi?"

"Sudah pada bubaran. Yang bisa datang hari ini cuma sedikit. Erin katanya lagi di Surabaya nemenin suaminya. Ayra kan masih belum bisa liqo' karena lagi di Turki. Dewi juga lagi gak bisa hadir. Jadi tadi yang datang cuma Ita, Putri dan Nindy." jawab Umi.

Ayana mengangguk pelan, "Oh.. kirain gak jadi ngajinya. Jadi, Aya telat banget ya Umi?."

Umi Fatimah tersenyum, "Gak papa. Hari ini kita cerita-cerita aja. Kamu juga kayaknya lagi kurang enak badan kan?" ujarnya.

Ayana mengangguk seraya menyandarkan kepalanya di bahu Umi Fatimah. Beliau ini sangat sayang pada anak-anak didikannya. Ayana salah satunya. Karena Ayana merupakan anak rantau, berbeda dengan beberapa sahabatnya disini membuat Ayana merindukan sosok ibunya yang jauh di Palembang.

Bahkan ibunya juga tidak tinggal bersamanya ketika Ayana masih sekolah dan kuliah dulu. Ibunya seorang guru di salah satu kabupaten yang ada di Palembang. Mengharuskan Mala –sang ibu, tinggal di perumahan guru dan jauh dari Ayana beserta adiknya –Gita. Ayah kandung Ayana sudah meninggal sejak gadis itu masih duduk di sekolah dasar. Sehingga mau tidak mau ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Ayana tidak pernah protes akan hal itu. Dia tahu bahwa semua yang terjadi adalah takdir yang sudah Allah guratkan untuk dirinya dan keluarga. Sehingga walaupun sejak kecil tinggal bersama nenek dan pamannya, Ayana tetap bahagia. Selama ini, Ayanalah yang menjadi sosok pendamping untuk adik kesayangannya. Membantu apapun yang dibutuhkan sang adik. Menemani bahkan menjadi teman bertengkar namun akhirnya berbaikan kembali. Hanya Ayana yang memahami perasaan Gita dengan sangat baik bahkan mungkin lebih baik dari Gita sendiri.

Dan disini Ayana bertemu dengan Umi Fatimah. Beliaulah sosok pengganti sang ibu juga neneknya yang jauh disana. Umi Fatimah sangat perhatian pada mereka. Dan selalu menjadi tempat berbagi keluh kesah juga pemberi nasihat untuk semua anak asuhnya.

"Aya kangen Ibu, Umi." bisiknya pelan.

Umi Fatimah mengusap pucuk kepala Ayana yang kali ini terbungkus khimar merah marun, "Sudah telpon Ibu?" tanyanya.

Ayana mengangguk pelan, "Sudah. Ibu bilang lebaran tahun ini disuruh pulang sama Gita katanya. Tahun lalu kan cuma Aya yang pulang karena Gita sibuk magang. Gak ada waktu libur dianya." jawab Ayana.

"Yasudah. Kalau begitu jangan lupa ditandai dari sekarang. Biar nanti gak kelabakan nyari tiket, Ya."

"Iya Umi. Ahh.. Aya juga kangen nenek jadinya."

"Nenek apa kabar memang?"

"Dua hari lalu Aya nelpon bibi sih nenek sehat. Cuma ya gitu Umi, nenek kan udah tua. Udah sering sakit. Jadi sedih kalau inget gak ada yang nemenin nenek. Kalau dulu kan, Aya ada disana. Jadi gak perlu takut nenek kesepian." curhatnya lagi.

"Do'ain selalu nenekmu ya, Ya. Beliau banyak berjasa buat hidupnya Aya."

"InsyaAllah, Umi. Aya sayang sekali sama beliau. Aya juga sayang sama Umi. Makasih ya Umi karena selalu anggap Aya seperti anak sendiri." ucapnya.

Hoffen ✔️ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang