Cukup kita. Jangan libatkan dia, boleh?
***Dinda memasuki rumah dengan lesu. Setelah menyimpan tas secara sembarang ia langsung mendudukkan badannya. Televisi yang menyala menunjukkan bahwa sang adik sudah pulang terlebih dahulu dari kampusnya. Kebetulan mereka kuliah di kampus yang berbeda.
Mamanya sudah meninggal semenjak mereka kecil, sedangkan papanya sibuk bekerja dan kerap pergi ke luar kota. Dulu, mereka memiliki Art, namanya Mbak Lena, tetapi wanita itu mengundurkan diri setelah menikah.
"Lesu banget sih?"
Dinda menoleh pada Maura yang berjalan menghampirinya. Di tangannya terdapat segelas susu cokelat yang masih mengepul, sedangkan tangan satunya memegangi sebuah novel. Adiknya berubah menjadi sosok melow semenjak ditinggalkan teman di masa putih abunya.
"Capek," lirih Dinda merebut minuman sang adik. Maura sempat berdecak. Meskipun begitu, ia tetap membiarkan sang kakak meneguknya sampai tersisa setengah. "Capek masalah kampus apa masalah lain?"
Dinda mengernyitkan dahinya menatap Maura yang sok tahu.
"Masalah hati misalnya?" tambah gadis itu lalu mendudukkan diri di sofa.
"Sok tahu banget!" elaknya. Dinda mengambil tas di atas meja hendak beranjak, tapi ucapan Maura membuatnya membeku.
"Bukannya udah aku bilang? Mencintai Kak Nathan itu gak bakal mudah dan Kakak masih tetep maksa."
Tiba-tiba perasaan sesak melandanya. Tak bisa Dinda sangkal kalau apa yang dikatakan adiknya memang benar. Memutuskan memperjuangkan Nathan sama dengan mendekatkan diri pada luka. Tanpa sadar Dinda mendesah pelan lalu melirik Maura yang menatap penuh prihatin. "Mou, Kakak baik-baik aja. Lebih baik kamu juga pikirin perasaan kamu."
Dinda tahu ucapannya menyinggung sang adik hingga wajah Maura berubah mendung. Ia merasa bersalah, tapi suasana hatinya yang sedang kacau membuat Dinda memilih berbalik, berjalan menuju kamarnya. Mungkin ia akan minta maaf pada Maura ketika perasaannya sudah membaik.
Menidurkan tubuhnya yang terasa lelah, Dinda menatap langit-langit kamar, menerawang jauh. Menerima Nathan bukanlah keputusan yang salah meski sisi lain hatinya selalu merasa ketakutan.
Bagaimana jika nanti Naina mengetahui hubungan mereka?
Dering ponsel membuyarkan lamunan Dinda. Ia membuka resleting tasnya, mengambil benda pipih tersebut dan menekan tombol berwarna hijau.
"Ya, hallo?"
"Kamu udah sampe?" tanya seseorang di seberang sana.
Dinda hanya menjawab dengan deheman.
"Nda?" panggil Nathan yang tak mendengar ucapannya.
"Iya, udah." Tatapan Dinda terarah pada figura di atas nakas. Sepasang anak manusia tersenyum lebar ke kamera. Dinda ingat, saat itu dirinya dan Nathan tengah menjadi panitia dalam kegiatan Ospek tahun lalu. Terbukti dengan jas almamater dan kartu kepanitiaan yang menggantungg di leher keduanya.
"Sukur deh kalau gitu. Aku sempet khawatir soalnya chat aku gak kamu bales."
Menjauhkan dari telinga, Dinda melihat layar ponselnya. Ada beberapa chat yang belum sempat ia buka.
"Maaf, aku belum sempet buka ponsel," ringisnya merasa bersalah.
"Gak papa, aku cuma khawatir aja tadi," ucap Nathan pelan, "kalau gitu aku tutup ya? Takut ketahuan sama dosen. Ini juga curi-curi kesempatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
It's (Not) Love ✔️
Genç KurguPINDAH KE DREAME Dari awal Dinda harusnya tahu, bahwa konsekuensi dari mencintai seorang Nathan adalah patah yang bukan sekedar patah. Namun, ia tak mampu mengelak ketika perasaannya terlanjur jatuh pada lelaki itu. Setelah bertahun-tahun berusaha...