Ten

1K 260 297
                                    

Menangislah sebentar, setelahnya jangan lupa untuk kembali ceria. Karena harimu tidak berhenti hanya pada kondisi terburuk saja.

-Arletta Audiya Alano

_________________


       Ale keluar dari bilik toilet sekolah. Iris matanya menatap lurus ke arah cermin besar wastafel, tiba-tiba raut wajah Ale berubah sendu. Sedangkan cermin besar itu menampilkan sosok gadis yang berdiri sambil membenarkan kucir kudanya. Gadis itu melirik Ale sekilas melalui cermin di hadapannya lalu sibuk membenarkan letak kaca mata minus yang menggantung di hidung bengirnya. Seolah tidak mengenal Ale, atau tidak peduli keberadaan Ale.

Ale berjalan mendekati wastafel dengan senyuman kecil. Senyum itu terlihat seperti senyuman biasa. Tapi jika diperhatikan lebih, ada raut kesedihan di senyum itu. Senyum miris. "Hi Ren! Gak kangen Ale?"

Gadis berkacamata itu tetap diam seolah tidak mendengar sapaan Ale, Ale menghembuskan napas. Seperti menahan sesuatu.
"Segitu besarnya kesalahan gue Ren?" ucap Ale pelan, "susah ya buat denger penjelasan gue? Denger dari sisi gue bukan cuma ambil kesimpulan dari sisi lo yang selalu ngerasa tersakiti," lanjut Ale.

Ale memutar keran wastafel dan menempatkan telapak tangannya di bawah pancuran air. Lagi, lagi dan lagi dia tersenyum miris. "Jujur, gue gak betah sama kondisi kita yang sekarang, biarin gue berusaha perbaiki semua."

Gadis yang diajak bicara akhirnya ikut tersenyum. Bedanya senyuman yang diberikan gadis itu adalah senyuman sinis disertai kekehan kecil.
"Semua udah rusak, jangan terlalu berharap untuk bisa memperbaikinya Le, anggap kita gak saling kenal."

Sedetik setelah mengucapkan kalimat yang menohok gadis itu pergi meninggalkan Ale.

"Gue kangen lo Renita..." bisik Ale pelan. Ale menunduk, mencoba mengubah ekspresi sendunya menjadi Ale yang ceria lagi. Setelahnya Ale mematikan keran yang sempat dihidupkannya lalu berjalan keluar toilet sekolah, dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja.

______________

"Kak Alvin..."
"Kak..."

Bibir merah muda gadis itu terus bergumam, padahal matanya tertutup rapat. Gadis itu sedang bermimpi.
Sampai matanya seketika terbuka dan melihat ke setiap sisi ruangan, dia berada di kamarnya.

Dia mengambil posisi duduk dan meraih ponsel yang terletak di atas nakas samping tempat tidur. Membuka kontak, mengetikkan nama 'Dendi' di sana dan memilih icon berbentuk telepon lalu menempelkan ponsel itu ke telinga.

"Hallo Ale ada apa? Udah lama lo gak nelpon gue tengah malem gini," ujar suara di seberang yang terdengar serak, khas orang baru bangun tidur.

"Gue mimpiin kak Alvin, gue kangen dia..."

"Oke gue paham, gue adalah kak Alvin lo malem ini," jawab Dendi. Memang sudah biasa Ale menelponnya di tengah malam saat gadis itu merindukan Alvin Ardio Alano, kakak kembarnya. Lalu Dendi akan berakting menjadi sosok Alvin yang hanya perlu diam mendengarkan semua keluh kesah maupun cerita sahabatnya itu.

Perlahan Ale mulai menangis. "Kak, Ale rindu... andai kakak di sini semua pasti jauh lebih baik. Ale kangen bercanda bareng kakak lagi, Ale kangen rebutan duduk di pangkuan oma, Ale kangen berkebun bareng opa dan ka-kak hiks." suara Ale mulai terdengar tidak jelas dan terbata karena sesenggukan, "tapi kakak jangan khawatir, Ale kuat. Cuma Dendi yang tau kalau Ale masih secengeng ini hehehe... kakak harus bahagia di sana sama opa."

Dendi tersenyum mendengar Ale yang tertawa disela ceritanya kepada Alvin, perannya sekarang. Dia tau, sahabatnya itu kuat.

Ale bercerita panjang lebar, mengingat kenangan mereka saat kecil, sesekali Dendi menimpali.

"Kak semua akan baik-baik aja, iyakan? Mama, oma pasti akan membaikkan?" setiap diakhir cerita Ale selalu bertanya hal ini, dan Dendi akan mengeluarkan kalimat menenangkan layaknya Alvin.

Termasuk Renita, hubungan kami akan membaikkan? Tanya Ale dalam hati.

Dia sengaja tidak menceritakannya kepada Dendi. Biarlah cukup dia dan Renita yang tau kejadian tadi.

"Iya, semua akan baik-baik aja. Ale kan kuat."

"Tentu, semua pasti membaik!" ucap Ale optimis, sudah terdengar baik-baik saja. Seolah bukan dirinya yang menangis sesenggukkan tadi. Dia Ale, seberapa besarpun masalah yang menghampirinya dia akan menangis sebentar dan ceria kembali.

"Besok berangkat sekolah bareng gue." ajak Dendi yang terdengar memaksa karena kalimat itu meluncur dengan nada perintah.

"Apartemen ke rumah gue jaraknya sama kayak apartemen ke sekolah, dodol! Tapi gak papa sih, bosen naik gojek online mang Ardan, sekali-kali naik taksi online mang Dendi hahaha."

Dendi dan keluarganya memang tinggal di apartemen. Bahkan keluarga Ale dulunya adalah tetangga apartamen Dendi sebelum membeli rumah tepat di sebelah rumah keluarga Fahrezi. Dendi sengaja tinggal di apartemen karena kedua orang tua Dendi jarang berada di Indonesia. Mereka lebih sering berada di Perth Australia mengurus bisnis keluarga di sana, sedang di Indonesia hanya sesekali untuk mengunjungi putra semata wayang mereka.

"Begini manusia gak tau diri, udah numpang ngatain taksi online pula." bukannya tersinggung Ale malah semakin terbahak, dia sangat paham dengan tabiat mulut pedas milik Dendi.

"Udah ah, princess mau bobok cantik lagi. Mang Dendi terusin gih boboknya. Selamat bobok, nice dream sayang..." Ale mengubah nada suaranya menjadi centil saat mengucapkan selamat tidur untuk Dendi. "Gantian Ale akting jadi pacar buat jomblo, sebagai tanda terimakasih karena jomblo udah mau akting jadi kak Alvin, bye!" Ale langsung mematikan teleponnya dan tertawa puas karena mengejek status jomblo Dendi. Padahal dirinya sendiri jomblo.

Sedangkan di kamarnya Dendi sudah mencekik bantal guling, membayangkan bantal guling tersebut adalah Ale.

Setelah meletakkan ponselnya ke tempat semula, Ale mengambil sebuah buku dari dalam laci nakasnya. Itu adalah buku diary berwarna putih bergambar beruang kuning membawa kendi berisi madu, Winnie The Pooh.

Ale bukan seseorang yang selalu menuliskan kejadian apa saja yang dilalui dirinya setiap hari. Dia hanya akan menuliskan keluh kesahnya di sana. Dia merasa sedikit tenang setelah menuliskan semua itu. Rasanya seperti berbagi dengan seseorang walau hanya sebuah buku yang tidak bernyawa. Karena Ale tau, tidak semua masalah bisa dilimpahkan ke Dendi, sedang mamanya bukan orang yang tepat untuk berbagi masalah. Sang papa? Terlalu banyak beban yang harus dipikul pria paruh baya itu, mana tega Ale menambahkan bebannya.

Dan di tengah malam itu sebelum kembali terbuai dalam tidurnya Ale menorehkan tinta di atas buku diary miliknya, menuliskan semua keluh kesahnya terhadap Renita.








Tbc

________________

a/n

Part ini nunjukkin sisi lain dari Ale, jangan lupa tinggalin jejaknya sayang 😘😘

Receh CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang