AKU berjalan perlahan, selasar sekolah telah sepi, beberapa polisi terlihat berbincang sambil membawa sebuah catatan kecil. Suasana sedikit mencekam akhir-akhir ini setelah ditemukannya Sarra yang tak bernyawa di lorong dengan pisau berdarah disisinya.
"Theo!" Seseorang memanggilku, aku berbalik, terlihat Alvin, sahabatku, berlari menghampiriku.
"Hei." Jawabku pendek.
"Bareng?" Tanyanya, aku mengangguk.
Alvin memperhatikanku, ia mungkin melihat ada yang berbeda dariku, "kenapa? Kau terlihat murung?"
"What? No," jawabku mencoba menenangkan suasana.
"Sarra, right?"
Aku menghela nafas, hanya Alvin yang mengetahui kalau aku menyimpan perasaan ke Sarra.
"Oh, come on, jangan murung, polisi sedang menelusuri siapa pembunuhnya dan apa motifnya," Alvin mencoba menenangkanku
"Ya, dan dalam seminggu mereka tak mendapatkan petunjuk apapun selain pisau disisi Sarra."
"Ayolah, kau masih memiliki keluarga, lagipula aku yakin pembunuh Sarra akan terungkap."
Aku mengangguk mendengar perkataan Alvin, masih ada keluarga, setidaknya kalimat itu yang membuatku sedikit tenang.
"Kau langsung pulang?" Alvin membangunkanku dari lamunanku.
"Eh, oh, nggak, aku harus ke Brooklyn dulu setelah pulang dari sekolah." Jawabku, perlu diketahui bahwa sekolahku berada di sisi Sungai East di Lower Manhattan, New York.
Alvin mengerutkan keningnya, "Brooklyn? Untuk apa?"
"Ada latihan basket, dan minggu ini jadwal latihannya di Brooklyn Bridge Park Basketball Courts." Jawabku sambil menatap smartphoneku, sebuah pesan masuk dari teman kelompok basketku, Eric.
"Ok, aku harus langsung pulang," Alvin berlari meninggalkanku di gerbang sekolah, "yo, Theo!"
"Yo" jawabku sambil menuju sepedaku yang kuparkirkan di depan sekolah, namun langkahku terhenti ketika melihat ban sepedaku yang bocor, "what the..." aku membungkukkan badan untuk melihat bannya lebih dekat, "siapa?"
Aku menghela nafas, sudah pasti karena dia, Nicholas Billy, kakak kelasku, orang yang selalu membullyku sejak aku pertama masuk sekolah ini.
"Hahaha, look, the greenie suffered!" Kata seseorang melihatku kesusahan, yang disambung oleh gelak tawa beberapa anak, Billy and The Gank.
Aku menghiraukan mereka dan mulai berjalan ke Metro Essex, 46 menit perjalanan lewat metro, belum lagi menunggu kereta yang kadang terlambat, sedangkan hanya 27 menit memakai sepeda. Sudah terbayang hukuman apa yang akan diberikan coach saat aku datang, mungkin berlari 10 putaran mengelilingi lapangan, atau push up 50 kali.
***
"Why you late?"
"Sorry, Coach," aku menundukkan kepala, bentakan itu cukup keras untukku.
"Sepuluh putaran, cepat!"
Aku mengangguk dan mulai berlari, rasa penasaran dan sedih karena kematian Sarra kini tergantikan oleh rasa lelah dan malu karena disaksikan oleh anak-anak yang lainnya.
"Kenapa kau?" Tanya Eric setelah aku selesai menjalani hukuman.
"Apa maksudnya?" Tanyaku balik.
"Akhir-akhir ini kau menurun, kenapa?"
"Menurun apa?" Tanyaku lagi.
"Kau terlihat tak bersemangat latihan, kenapa?" Eric mengulang pertanyaannya
KAMU SEDANG MEMBACA
TWENTY-ONE INSTRUCTION (sudah terbit dengan judul The Instruction)
Mystery / ThrillerSUDAH TERBIT DENGAN JUDUL THE INSTRUCTION TWENTY-ONE INST2UCT1ON Follow the clue, find the murderer ---------- Dia hanya meninggalkan petunjuk-petunjuk tak jelas di tempat yang tak tentu, kematiannya menyisakan tanda tanya untukku. Dia Sarra Audrey...