Second

496 55 15
                                    

AKU membaringkan tubuhku di atas kasur, sebuah me time di hari itu yang cukup untuk menyegarkan pikiranku. Aku mengambil smartphoneku yang tergeletak di meja pinggir kasur, namun mataku terpaku pada satu titik: sebuah buku bersampul merah. Aku belum mengembalikan buku Sarra.

Seketika aku teringat tentang tulisan Sarra yang membenci seseorang di kelas dan di perpustakaan. Aku mengambil buku itu, lalu membuka halaman terakhir tempat tulisan bertinta merah berada.

"Sarra membenci seseorang di kelas dan di perpustakaan, tapi siapa?" Tanyaku pada diriku sendiri.

Notifikasi smartphoneku menyala, tanda sebuah pesan masuk, aku mengambil smartphoneku dan membacanya, pesan dari Irma, teman sekelasku dan sahabat dekat Sarra.

Irma
Buku tulis Sarra ada di kamu?

Ricky
Buku tulis yang mana?

Irma
Yang bersampul merah

Ricky
Ya, memangnya kenapa?

Irma
Kukira Mrs.El akan memberikannya
padaku,

Ricky
Irma, apa Sarra pernah bilang
ia membenci seseorang?

Irma
Sering

Ricky
Siapa saja?

Irma
Dia pernah bilang kalau dia
membenci Gissele karena
memarahinya karena ia telat
mengembalikan buku.

Ricky
Siapa Gissele?

Irma
Anak Mrs.Lynn penjaga perpus.

Ricky
Oh, ya. Lalu siapa lagi?

Irma
Dia juga pernah bilang kalau
ia tak suka pada Ryan karena
telah mematahkan pulpennya,
lalu ia membalasnya dengan
mematahkan pulpen Ryan.

Ricky
Ada lagi?

Irma
Masih ada banyak, memangnya
kenapa?

Ricky
Tak apa.

Aku tersenyum puas, dua suspect yang kudapatkan ada hubungannya dengan ruang kelas dan perpustakaan.

Tapi aku kembali berpikir, apa alasan jika Gissele membunuh Sarra? Mengapa Ryan tega membunuh Sarra jika hanya karena pulpen yang patah? Sarra adalah seorang siswa yang pendiam, namun ia juga ganas jika ada yang memarahinya atau berani macam-macam dengannya, itulah mengapa aku menyukainya.

***

Aku berjalan perlahan di lorong sekolah, mencoba tak terlalu menarik perhatian, tujuanku adalah perpustakaan yang ada di ujung sekolah.

Aku mengendap-endap memasuki ruang perpustakaan, ruangan itu telah sepi, mungkin karena telah lewat jam pulang. Aku menyusuri lorong antara rak buku, mengikuti suara yang telah aku dengar sejak pertama aku memasuki ruangan ini, suara Gissele.

Di celah antara buku, aku dapat melihat Gissele duduk sendirian, cukup mengingatkanku pada adegan film horor, apalagi dengan rambut panjang Gissele yang terurai, namun suasana itu hilang ketika melihat bando yang dipakai Gissele berwarna pink.

TWENTY-ONE INSTRUCTION (sudah terbit dengan judul The Instruction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang