PEMANDANGAN awan segera berganti menjadi Empire State Building dan kawan-kawannya, terlihat juga Sungai East dan Jembatan Brooklyn telah dilewati pesawat yang kunaikki ini, kemudian yang terakhir adalah Bandara John F. Kennedy, tempat pesawat ini akan mendarat.
Perjalanan pulangku dan keluargaku tak berlangsung baik, awalnya ibu dan ayah saling membentak, dan ketika aku menanyakan ada apa, ayah membentakku.
"Jangan ikut campur! Bukan urusanmu!" Bentaknya saat itu, membuatku tak mau mengobrol dengannya lagi.
Sejak perjalanan dari Bandara Norfolk, aku tak mau menyulut pembicaraan dengannya. Ayah berdiri dari duduknya disusul ibu, meninggalkanku sendirian dikursiku. Pesawat kami berhasil mendarat dengan selamat di landasan pacu JFK.
Aku memilih untuk tidak beranjak dari dudukku terlebih dulu, membiarkan kedua orang tuaku berjalan sedikit jauh dariku, setelah dirasa cukup jauh, aku berjalan keluar dari pesawat, menyusuri garbarata, dan menunggu tasku di conveyor belt.
Dari jauh aku dapat melihat kalau ayah telah menemukan kopernya dan berjalan meninggalkan ibu sendirian di area conveyor. Dalam hati aku berpikir, ada apa dengan orang tuaku? Apa yang terjadi? Mengapa mereka menjadi sangat berbeda?
Air mataku hampir terjatuh ketika aku sadar sebuah tas biru mencolok lewat di hadapanku, tas milikku. Segera aku mengambilnya. Aku melihat ibu yang masih menunggu di conveyor belt, ada perasaan iba dalam hatiku.
Perlahan aku mendekatinya, menyentuh pundaknya perlahan, ia berbalik menatapku, terlukis senyum diwajahnya membuatku sedikit tenang, setidaknya masih ada senyum yang tersisa di wajah ibu setelah yang ia lewati akhir-akhir ini.
Ibu segera mengambil kopernya yang lewat dihadapannya, namun aku mengambil alih koper itu. Ibu hanya tersenyum melihatku, ia menuntunku untuk keluar dari area conveyor menuju loby terminal 8.
Terminal berdesain modern itu cukup ramai untuk ukuran kedatangan domestik, orang bilang Terminal 8 ini adalah terminal terburuk di JFK dengan tidak tersedianya restoran atau tempat duduk untuk menunggu, namun menurutku ini cukup nyaman.
Ibu memesan sebuah taksi dari smartphonenya, tak lama ia kembali mencocokkan plat nomor setiap taksi yang berhenti di depan terminal dengan yang ada di smartphonenya, lalu setelah yakin, ia menaiki sebuah taksi diikuti olehku.
***
"Ricky!"
Aku berbalik, Irma terlihat berlari menghampiriku. "Apa?" Tanyaku ketus.
"Aku turut berduka." Ia berjalan mengikutiku. Aku mengangguk, rasa berduka sudah cukup bagiku, tak perlu buah atau kartu ucapan. "Kau sudah membuka pesanku." Tanyanya.
Aku mengangguk, sebenarnya Irma menanyakan hal itu bukan pada tempat dan waktu yang tepat.
"Menurutmu, apakah Jensen yang membunuh Sarra? Tapi apa motifnya? Kenapa ia tega?" Tanya Irma bertubi-tubi.
"I don't know, shut up." Pertanyaan Irma sudah membuatku pusing.
"Apakah ia berkomplot? Dengan siapa? Dengan berapa orang?" Irma melanjutkan pertanyaannya seakan tak mendengarkanku.
"Just shut up, Irma." Aku membuka gembok sepedaku dan mulai menaikinya.
"Hei, listen to me first." Irma menghalangi jalan sepedaku.
"Irma, I don't want to talk about it now." Aku membelokkan sepedaku menghindari Irma yang menghalangiku.
"Hei," Irma memegang stang sepedaku, membuatku tak bisa menghindarinya. "We should investigate Jensen."
KAMU SEDANG MEMBACA
TWENTY-ONE INSTRUCTION (sudah terbit dengan judul The Instruction)
Mystery / ThrillerSUDAH TERBIT DENGAN JUDUL THE INSTRUCTION TWENTY-ONE INST2UCT1ON Follow the clue, find the murderer ---------- Dia hanya meninggalkan petunjuk-petunjuk tak jelas di tempat yang tak tentu, kematiannya menyisakan tanda tanya untukku. Dia Sarra Audrey...