13. His Reasons or Trauma

4.6K 608 228
                                    

Haechan tidak tahu harus menggambarkan seperti apa kejadian yang dia lihat. Namun, yang lebih mengejutkan perasaannya adalah keterikatan dua orang tersebut yang tampaknya lebih dekat dari lengketnya permen karet. Kemesraan yang bahkan belum sejengkal dia dapat. Haechan mengepalkan tangan, tetapi menghela napas dalam-dalam, di sanubarinya, hubungan itu harus segera terputus. Meski dia harus menghadapi sosok yang paling tidak ingin dibawa terlibat lagi.

Wajah Haechan yang mengeras kembali jenaka. Dia melebih-lebihkan ekspresinya di depan dua insan tersebut, mengatakan dengan panik terkait adik Renjun-Chenle-yang tiba-tiba sakit perut dan membutuhkan kakaknya untuk menemani pulang. Maafkan aku, Le, ini demi keselamatan kakakmu, batinnya hampir memelas.

Dia tahu Jeno tidak sebodoh itu untuk terbodohi alibi buatannya.

Namun, turut serta Renjun yang bermain dalam alasan palsunya memberi tambahan untuk Jeno percayai. Haechan yakin salah satu yang membuat Jeno menargetkan Renjun adalah wajah flower boy-nya dan itu pula yang berhasil mengelabui Jeno.

Dengan enggan, Jeno melepaskan pergelangan tangan Renjun, tetapi sedetik kemudian dia membawa Renjun kembali ke hadapannya dan menangkup kedua pipi gembil itu. Jeno ingin kembali mengecap rasa dari bibir Renjun. Bibir yang kemarin dia sentuh dengan kasar sampai meninggalkan bekas di hati pemuda lebih kecil.

Jeno menatap ke dalam mata Renjun saat memegang kedua pipinya, lalu menarik perlahan wajah berparas manis itu mendekat. Suara-suara riuh di sekitar mereka mendadak lenyap ketika embusan napas hangat Renjun terasa mengenai kulit atas bibir.

Matanya mencari tahu lantaran perasaan yang semakin tidak jelas. Jeno masih mengingat hari kemarin serta kejadian lalu jelas setiap detailnya, tetapi perasaan dari kedekatan kecilnya juga datang mendesak. Dia sudah cukup gila ingin merasakan kehangatan napas Renjun. Namun, ingin pula menghempaskan sosok yang mungkin akan membawa trauma yang sama.

Jarak antar keduanya begitu tipis, saling merasai kehangatan napas masing-masing. Akan tetapi, bukan hanya Haechan yang dapat melihatnya dengan jelas. Jeno juga, dia mengerutkan dahi saat merasakan pipi dalam tangkupannya bergetar kemudian memandang sorot mata penuh terhina dan ketakutan mengarah padanya.

Huh?!

Ekspresi orang yang diklaimnya itu seperti kebencian.

Jeno sudah bersiap melakukan reka adegan dulu kali ini dengan dirinya berniat membalikkan keadaan. Namun, pemuda kecil di depan terlihat tidak meledak seperti kemarin, malah menantangnya pada tatapan dalam. Dia pun melepaskan tangkupannya memandang Renjun yang semakin menunduk tajam.

Melihat kesempatan itu Haechan dengan segera mengamit tangan Renjun dan meninggalkan kantin beserta seisi penghuni di dalamnya.

Termasuk Jeno yang penuh dengan tanda tanya di kepala.

Bukankah kamu sama saja, kenapa tidak mengataiku seperti kemarin?

Tidak ada yang berani menyenggol Jeno setelah ditinggal Haechan dan Renjun, pemuda itu menatap ragu kepergian keduanya. Akan tetapi, tanpa seorang pun sadari, hanya Haechan yang mengerti kebimbangan di wajah Jeno. Sebab, apa yang pemuda sembrono itu nanti tidak muncul dari Renjun.

Haechan ingat ketika dirinya menyuarakan rasa yang tak pernah dihargai. Sesuatu yang harus dikuburnya dalam-dalam beserta senyum kemenangan menjijikkan orang itu.

Makanya dia ingin kabur cepat-cepat, tak ingin Jeno mendapatkan yang dimaunya. Pertemanan Haechan dengan Renjun memang baru seumur jagung, tetapi dia lebih tidak terima jika Jeno memenangkan tabiat jeleknya lagi. Lantas dia mencari tempat sepi untuknya memperingatkan Renjun.

Mereka mengambil jalan berputar dari gerbang depan ke gudang sekolah di sebelah kiri.

Haechan memegang kedua bahu Renjun di hadapannya. Kepalanya menengok kiri-kanan, memastikan situasi tak ada yang membuntuti.

✔ Dilemme XXX [NoRen] RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang