4. Classical approaches

6.7K 819 123
                                    

"Kamu ...."

"Kamu!"

Dua telunjuk saling menunjuk. Keduanya diam beberapa saat dengan penampilan yang cukup absurd; yang satu memeluk panci besar, satu lagi dengan handuk tersampir di atas kepala. Hingga panci yang terapit satunya terlihat meluncur ke bawah. Mereka menyudahi keterkejutan dan buru-buru menangkap panci bersama.

Renjun menghela napas lega begitu panci sudah di tangannya. Kemudian ia mengangkat wajah dan berkata, "Ternyata kamu tetangga dekat, em ... untuk yang kemarin, terima kasih ya."

"Mark, Mark Lee. Aku belum menyebutkan nama kemarin," ujarnya langsung.

"Ah iya Mark." Renjun mengangguk kecil beberapa kali. "Lalu, ada apa pagi-pagi kemari?"

"Waktu itu keluargamu memberikan kami bingkisan makanan, aku ke sini mau mengembalikan tempat makannya, Renjun." Tatapan Mark dari Renjun turun ke panci luncur yang mengejutkan mereka. Telunjuknya menggantung di udara menunjuk si panci. Renjun melihat lagi panci pembuat onar dan sedikit tergelak. Dia mengangguk kemudian berterima kasih pada Mark.

"Hm, baiklah. Renjun, sepertinya aku harus pamit sekarang, mau berangkat," pamitnya langsung membungkukkan diri pada Renjun dan berbalik pergi.

"Iya Mark, hati-hati di jalan." Renjun mengangkat senyum tipis seiring mata cantiknya yang ikut menyipit karena tersenyum.

Ia berjalan masuk ke rumahnya sambil membolak-balikkan panci di tangan. Begitu memasuki dapur, panci nakal itu hampir meluncur lagi ketika Renjun dikejutkan dengan teriakan adiknya yang-sebenarnya-bertanya.

Baba mereka hanya menggeleng maklum. Lalu Winwin mengulangi lagi pertanyaan Chenle, "Siapa itu dek?"

"Mark, Ba. Dia tetangga kita," jawab Renjun saat dia sampai di meja setelah menyimpan panci.

Melihat Babanya yang hanya balas mengangguk, Renjun menambahkan, "Ba, dia yang mengantarku saat tersesat kemarin."

Pada saat itulah, Yuta yang sibuk mengoles selai stroberi dengan hati-hati mulai menatap penuh ketertarikan. Senyum jenaka pun tak luput dari wajahnya yang tampan. "Bisa kebetulan gitu? Untung, dia ternyata tinggal di sini juga."

"Iya, Pa! Untungnya ada Mark, kalau tidak, mungkin sampai sekarang aku masih muter-muter di jalan."

"Wah, ge! pipimu kok bisa menggembung gitu? Senang ya? Senyumnya jangan kelebaran nanti pipimu meledak, ge!" pekik adiknya yang menoel pipi Renjun. Chenle menaik-turunkan alisnya menggoda sang kakak.

"Apa sih Lele?!" Renjun balas mencubit adiknya itu kemudian keduanya terlibat pertengkaran cubit-cubitan yang akhirnya dilerai Baba Winwin.

Yuta yang diam-diam menikmati berantemnya anak-anak, menyengir penuh arti. Dia meletakkan garpunya ke meja dengan keras. "Wah anak-anakku sudah puber, bisa bisa kita besanan sama tetangga itu nanti."

"Papa!!" teriak Renjun yang tak habis pikir juga dengan celetukan asal ayahnya.

Di sisi lain, Winwin berusaha keras menormalkan keluarganya yang agak luar biasa terus mendesah capek. Dia sudah berdiri menarik kursi Renjun supaya jauh dari Chenle-yang sekali dicubit harus membalas-malah mendekat lagi. "Sudah-sudah cepat habiskan sarapan kalian! Nii-chan[1] juga! Jangan nambahin selai terus, habis ini masih harus anter anak-anak!" omel Winwin sembari menarik Chenle dari jangkauan Renjun agar terhindar dari cubitannya. Anak yang tertarik pun cekikikan keras. Winwin berkali-kali menggeleng, benar-benar cetakan papanya.

Seolah tidak terjadi apa-apa, Yuta merapikan piringnya sendiri dan duduk tenang. Dia berkata, "Pulang sekolah mau dijemput tidak? Takut-takutnya ada yang nyasar nanti."

✔ Dilemme XXX [NoRen] RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang