6- Recently (Aradea POV)

80 8 12
                                    

Adakalanya rasa yang kita punya perlahan memudar.
Perlahan hilang karena tak pernah diindahkan.
Rasa berganti pelan - pelan.
Menciptakan rasa bahagia yang baru,  untuk orang yang baru pula.

-Aradea

Hari ini hujan lagi,  kelas jurnalistik sedari tadi telah dimulai. Challenge kali ini yaitu "'Recently' , menuliskan perasaan janggal yang akhir - akhir ini kau rasa."
Terlihat teman - teman yang lain sedang sibuk menulis apa yang ingin mereka ceritakan lewat kata yang bernarasi.

Aku masih tak punya ide untuk aku tuliskan,  maka mataku hanya menerawang ke lapangan sekolah yang saat ini sedang diguyur hujan,  berharap tetesan - tetesan yang jatuh  di sana mampu memberikan kisah yang bisa aku tuliskan.

Jake,  cinta pertamaku, nama itu menjadi hal pertama yang melintas di pikiranku. Memori tentangnya yang selalu saja membeku kembali berputar,  mengingatkanku padanya lagi.

Setelah itu,  akhir - akhir ini Adika menbuat rasa itu perlahan terkikis. Pertemuan - pertemuan singkat itu tak kusangka membuat perhatianku sedikit teralih dari Jake yang selalu saja dingin.

Adakalanya rasa yang kita punya perlahan memudar. Perlahan hilang karena tak pernah diindahkan. Rasa berganti pelan - pelan. Menciptakan rasa bahagia yang baru untuk orang yang baru pula.

Empat tahun menyimpan rasa yang selalu sama tentu akan menjadi sangat menyakitkan saat kau merasakannya sendiri.  Saat rasa itu tak pernah digubris, tentu saja semuanya dapat berubah,  karena hati juga punya batas untuk tetap menunggu.

Degupan memang belum terlalu terasa seperti memiliki rasa sebelumnya,  namun rasa senang melihat hadirnya pelan - pelan menyesap dan berkuasa menciptakan senyum sumringan.

Adika Elvan, tanpa sadar pertemuan - pertemuan singkat yang selalu saja terjadi menciptakan rasa senang yang sederhana,  rasanya sama seperti saat aku memperhatikan Jake yang selalu saja diam dengna muka datarnya.

Dia,  lelaki berkacamata. Wajahnya tak kaku seperti yang pertama. Dia lebih terlihat ramah dan berkarisma.

Meski kata orang dia selalu saja marah,  namun mataku punya deskripsi yang berbeda tentang dia. Aku melihatnya sebagai seorang yang ramah. Tak seperti Jake yang selalu membekukan suasana.

Dia mahir menciptakan alunan nada yang indah dengan tiupan saxophone miliknya. Dia tampak sangat sempurna saat mengalunkan lagu dengan petikan - petikan gitarnya.

Kesan pertama pada pertemuan pertama, nada - nada yang diciptakannya sangat indah, mampu menenangkan, dan dalam sekejap membuat setiap yang mendengar terpana.

Tak ada rasa,  namun mataku selalu terjaga untuk selalu memandang.
Apa mungkin rasaku telah berpindah?

Bertemu dengannya selalu membuatku sulit untuk tidak memperhatikan setiap inci pergerakan yang dia ciptakan. Dia seperti memiliki gravitasi yang mampu menarikku untuk selalu terjaga memandanginya. Apa aku betul - betul telah menyukainya?
Aku tak mudah jatuh cinta dan juga tak mudah lupa akan perasaan yang aku punya. Itu yang membuatku terperangkap dalam dinginnya Jake selama empat tahun terakhir ini.
Mungkin saja dia hangat yang mulai menghangatkan aku yang hampir saja beku karna sang cinta pertama.

Narasi yang singkat, untuk menceritakan perasaan yang masih belum jelas terasa.
.
.
.

Sudah dua jam berlalu,  bersamaan dengan itu kelas juga sudah bubar.
Hujanpun mereda, awan gelap telah menumpahkan seluruh bebannya, hingga mega tampak lapang dengan hiasan cahaya jingga sang mentari senja.

Dedaunan masuh menyimpan butir-butir hujan di tiap - tiap helainya. Aku melangkah mengintari jalanan ingin kembal in ke rumah.
Aroma tanah basah menyeruak di indra penciumanku. Aromanya menenangkan. Hujan memang selalu seperti itu, mungkin sakit saat kita diterjang oleh ribuan bulirnya, namun hadirnya selalu meninggalkan sangat banyak kesan yang indah.
Aroma tanah basah, kelopak bunga yang mekar,  hingga pelangi dengan kolaborasi warna yang indah.

"Dea,  kamu darimana?"sapa Andra, sahabat Jake yang ternyata sedang berjalan di belakangku entah sedari kapan.
Aku menoleh ke arahnya yang kini telah berjalan di sampingku. Ternyata dia tidak sendiri, dia bersama Jake dan juga Adika.
Ekspresiku tiba - tiba membeku menyadari kehadiran mereka di sana.

"Dea, aku lagi nanya kamu loh. Kok diam aja? "tanya Andra lagi menyadari aku yang sedari tadi hanya diam tak menjawab pertanyaannya.
"O. oh,  habis selesai kelas jurnalistik Ndra" jawabku sambil berjalan dengan gugupnya. Gugup saat mendapati Jake, cinta pertamaku yang hingga sekarang selalu membuatku jatuh cinta sekaligus mendapati Adika yang akhir - akhir ini sering membuat pikiranku buyar.

"Jadi kamu udah tau kalo gebyar sekolah nanti kelas Jurnalistik akan kerjasama dengan kelas Musik?" timpal Adika yang berjalan di samping Jake.
"Kerjasama? Aku belum dengar info tentang itu. Mungkin di pertemuan selanjutnya Bu Dera bakalan ngasitau tentang itu di kelas. " jawabku sambil melirik ke arahnya sebentar. Jake yang berdiri di sampingnya masih tetap bergeming,  seakan tak ingin ikut berbicara sepatah katapun.
Ekspresi wajahnyapun tak berubah,  sangat datar dengan rahang tegas yang menjadi ciri khasnya.

"Berarti kalian bakalan kerjasama dong," timpal Andra.
"Begitulah, katanya Gebyar sekolah bakalan buat pertunjukan semacam Teather. Klub Jurnalistik yang bakalan mengarang naskahnya,  Klub Teather yang akan melakonkan, dan Klub Musik yang akan mengiringi di setiap sesi ceritanya. " jelas Adika.
"Oohh" jawabku sambil mengangguk tanda mengerti penjelasan Dika barusan.
Aku sepertinya tak salah menilainya. Dari caranya berbicara,  sepertinya dia orang yang  baik. Dan aku juga baru tau kalau ternyata dia teman Andra dan Jake juga.

Sekali lagi aku melirik ke arah Jake yang masih saja diam dan tampaknya tak tertarik untuk ikut mengobrol.

"Oh,  kalian tadi habis darimana?  Bukannya hari ini hanya ada jadwal kelas Jurnalistik aja ya? " tanyaku pada mereka bertiga.
"Aku dan Adika habis keliling - keliling komplek sekitar sini Dee,  Adika baru aja pindah rumah,  dekat rumahku juga. Aku lagi ngenalin Dika lingkungan yang ada di sini Dee. " jawab Andra.
"Yup, " balas Adika membenarkan ucapan Andra.

"Jake darimana? Ikut keliling komplek juga? " tanyaku pada Jake.
"Dari Perpustakaan umum" jawab Jake.
"Ooh,  okelah, " balasku lagi.
"Jake ikut kelas apa? "tanyaku lagi.
"Biologi" jawab Jake dengan suara datarnya.
"Ooh" kataku pelan.
"Aku udah nyampe rumah nih,  aku duluan ya teman - teman.  Byee.. " kataku saat kami telah tiba di depan rumahku.
"Bye.. " jawab mereka serempak.

Jake Danendra, mengapa dia selalu saja beku?. Dan mengapa juga perasaanku sangat susah berubah? Aku selalu saja gugup saat melihatnya dan di saat yang bersamaan merasa sangat senang melihat wajahnya yang tampaknya tak punya ekspresi lain selain datar,  sedatar jalanan tol saat digambar pada foto udara.

Adika Elvan,  saat mendengarkannya berbicara. Sebagian rasa yang hanya aku rasakan saat melihat Jake,  entah mengapa dapat aku rasakan.
Mereka seperti dua musim yang bertolak belakang.
Jake si musim Dingin,  yang mampu membuat orang lain menggigil karna sikap bekunya.
Adika si musim Semi,  yang mampu membuat bunga - bunga bermekaran karena permainan musik indahnya.
Namun keduanya menciptakan rasa yang cukup aneh dan membingungkan untuk hatiku saat ini.
.
.
.
.

Hello guys😊
I hope you can enjoy this part.
Give your vote and don't forget to comment this one.

Jangan jadi silent reader,  karena aku butuh masukan dari kalian.

This story is awkward :v
I need your suggestion guys...

Love you..  ❤

NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang