EMPAT (a)

1.4K 144 84
                                    

Selain rapat, mereka juga menghimpun anggota-anggota baru di ruang Redaksi Majalah Dinding. Ternyata banyak yang ingin eksis di dunia Jurnalis ini. Kehadiran Elgra pun di tengah rapat redaksi ini sangat bagus. Walaupun dia bukan bagian dari mereka, tapi dia turut membantu dengan memberikan ide-ide bagus untuk tema yang diangkat.

Sepulang sekolah Elgra langsung menawarkan diri untuk menemani Athaya rapat. Katanya, dia sedang tidak mau pulang terlalu cepat.

"Thanks ya, El, buat ide-ide cemerlang lo tadi. Ngebantu banget tadi," kata Athaya sambil berjalan menuju parkiran. Mulutnya yang penuh ubi goreng buatan ibu kantin tak berhenti mengunyah.

Elgra tertawa sekilas. "Enggak usah ngomong gitu deh. Kayak sama siapa aja."

"Tapi beneran lho tadi. Gue sama anak-anak aja enggak kepikiran buat ide itu. Dan lo tahu, anak-anak JS yang baru aja sampai terkesima denger ide-ide lo."

"Ah, lo bisa aja. Biasa aja kali. Itu juga gue ambil dari pengalaman gue. Dan gue juga ngasih ide itu buat ngobatin rasa kangen gue ke Nyokap."

Selain artikel tentang perempuan, Elgra memberikan ide untuk membuat puisi untuk perempuan yang sangat dicintai. Boleh ibu, kakak, adik, ataupun seseorang yang spesial. Ya... ini memang bukan dalam rangka hari kasih sayang. Tapi bukankah kita bisa mengatakan sayang setiap hari kepada orang yang dicintai meski lewat tulisan?

Dalam hal ini, tim redaksi dan anak-anak JS setuju untuk mengambil fokus pada emansipasi wanita. Maka, selain artikel tentang perempuan, mereka menyusun beberapa sub tema di antaranya cerita pendek yang akan dibatasi menjadi dua, puisi, gambar, dan DUDU (Dari Untuk Dari Untuk).

Ah, aku jadi enggak sabar buat ngelihat hasilnya, batin Athaya.

Lalu, Athaya mencaplok ubi goreng bulat-bulat karena terlalu lama kalau jika harus menggigitnya sedikit-sedikit.

"Hmm, kenapa lo enggak gabung aja jadi anak JS?" tanyanya kemudian.

Elgra mengulum senyumnya dan menggeleng pelan. "Enggak, Tha. Gue mau nyantai aja di sekolah. Tinggal beberapa bulan lagi, kan? Gue mau fokus belajar biar dapet universitas negeri. Tapi kalau lo dan temen-temen lo butuh bantuan, lo bisa panggil gue."

Athaya mengacak-acak rambut sahabatnya. "Hmm, Elgra kecil gue sekarang udah gede, ya. Malah kalah tinggi gue."

Lalu, mereka tertawa mengingat sewaktu Athaya kecil tumbuh lebih tinggi dari Elgra kecil.

"Eh, gue masih enggak nyangka satu sekolah lagi sama lo, El."

Elgra meraih jemari Athaya dan menggenggamnya erat. "Gue di sini buat nemenin lo."

Kening Athaya berkerut. "Lho, kenapa?"

"Karena gue tahu Athaya enggak bakal bisa utuh tanpa adanya Elgra."

Athaya menghentikan langkahnya. Dia menghadap Elgra. Meniti mata cowok itu. Melihat raut wajahnya. Dan yang dilihatnya adalah raut wajah serius yang pernah dilihatnya dua tahun lalu. Tidak ada tanda-tanda Elgra sedang bercanda ataupun berbohong.

"Begitu pun sebaliknya. Gue enggak utuh tanpa adanya diri lo," imbuh Elgra.

Beberapa saat mereka seperti sedang berada di tempat yang sunyi. Udara sore bertiup lembut ke arah mereka dan mengusap wajah mereka. Elgra bisa mencium bau parfum vanila yang menguar dari tubuh Athaya. Begitu segar baginya. Senyum tipis tergurat di wajahnya. Hal ini membuatnya ingin terus menatap Athaya seperti ini, tapi suasana itu hanya tercipta sesaat sampai terdengar suara yang sekarang mulai mengganggu pendengaran Elgra.

"Athaya!!" Suara itu terdengar dari arah lapangan.

Athaya menoleh ke asal suara. Terlihat Rayyan tengah berlari ke arah mereka.

Athaya & Elgra [TERBIT GRASINDO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang