02 # Balas Dendam

1.1K 214 15
                                    





Walaupun sekelas, Lucas jarang sekali memiliki kesempatan untuk berdekatan dengan Mark. Bertatap muka saja jarang, apalagi ngobrol berdua. Entahlah. Soalnya sekali kedip saja, pemuda berdarah Kanada itu tiba-tiba sudah hilang dari pandangan.

Ditambah lagi Lucas selalu ditarik ke GOR untuk latihan basket setelah bel pulang berbunyi, sementara Mark langsung dengan sukarela menuju ruang OSIS.

Karena itulah, satu-satunya kesempatan Lucas untuk balas dendam akibat perbuatan teman sekelasnya tempo hari hanya bisa dia lakukan ketika Mark mengunjungi Dreamies Café, yang dilakukan si pemuda berdarah Kanada seminggu sekali.

Dengan kata lain, hari ini.

Saking bersemangatnya, Lucas sampai betah menyeringai terus selama sejam terakhir.

"Jangan mrenges mulu napa, Cas," Johnny menggeplak bagian belakang kepala Lucas.

"Lagi seneng elah, Kak," Lucas meringis sambil mengelus kepalanya. Mau balik menggeplak tapi kok tidak sopan.

"Muka lo serem. Nanti pelanggannya pada minggat."

"Dih ngaco lo. Ganteng gini."

Tepat saat Lucas mendongak, pintu kafe terbuka dan tampaklah Mark memasuki Dreamies. Segera saja dia melupakan rasa sakit di kepalanya, lalu mendorong si pemuda yang lebih tua dari tempat pemesanan.

Johnny menatapnya bingung. "Ngapain dorong-dorong?"

"Gue aja yang nerima pesenan. Kak Johnny ganti bikin kopi," kata Lucas.

Senyumnya yang terlalu lebar tampak tidak meyakinkan, tapi Johnny mengiyakan saja. Walaupun sambil geleng-geleng kepala heran sih.

"Yang bener nyatetnya. Awas lo kalo bikin pelanggan lari."

"Iya iya."

Tepat saat itu, Mark berhenti di depan counter. Lucas membenahi senyumnya supaya terlihat lebih bersahabat. Sementara di hadapannya, Mark menatapnya skeptis.

"Hai, Mark," sapanya. "Mau pesen apa?"

"Caramel Frappucino," balas Mark singkat, bahkan tanpa membalas sapaan Lucas. Setelah menyodorkan selembar uang berwarna hijau, Mark pun berbalik.

Lucas hampir saja luput melakukan aksi balas dendamnya.

"Mark!" Panggilnya lagi, agak terlalu keras sampai pengunjung lain (yang pastinya tidak bernama Mark) menoleh ke arahnya.

"Apa?" Dengan ekspresi tidak nyaman, Mark kembali menghampiri counter.

"Gue khawatir salah nih. Boleh ulangin pesenan lo nggak?" Lucas pura-pura mengorek telinganya. Lalu dia menumpukan sikunya di permukaan counter sehingga jaraknya dengan Mark hanya tinggal beberapa inci.

Si pemuda jangkung mati-matian menahan tawa ketika dilihatnya Mark memundurkan wajahnya dengan raut wajah canggung.

"Caramel Frappucino dingin," tapi Mark melakukan permintaan Lucas. "Yang medium."

"Hmm," Lucas mengangguk sambil pura-pura menulis pesanannya. Dari sudut mata, dia melirik Mark. Teman sekelasnya itu sedang menatapnya serius. "Medium? Tapi sekarang kita pake tall, grande, sama venti. Yang mana?"

Perlahan, ekspresi Mark berubah. Raut seriusnya mulai meluruh, dan digantikan dengan kebingungan.

"Itu ... yang gimana?" Lucas melihat ujung telinga Mark memerah.

Yha, ketauan nggak pernah ke Starbucks. Walaupun Lucas juga tidak pernah ke sana sih. Dia kan hanya murid SMA yang kantongnya tidak terlalu dalam.

"Y-yang grande aja," sebelum Lucas sempat membalas, Mark sudah berujar. "Udah jelas kan pesenannya?"

"Nama lo nulisnya gimana, Mark?"

Kesel nggak lo? Kesel nggak? HAHAHAHAHA.

Kali ini, Mark menghela napas. "Kalo nggak tau cara nulisnya, langsung panggil kan bisa, Cas. Lo tau nama gue."

Lucas menelengkan kepalanya. "Tapi yang jadi pelanggan di sini bukan lo doang, Mark. Turutin prosedurnya aja napa."

"Mark. M-A-R-K."

"... hah, gimana? M-O-R-K?"

"Mark."

"Murk?"

"Tsk. Biar gue yang nulis sendiri."

Mark mengambil spidol dan wadah kopi dari tangan Lucas, yang diserahkan secara sukarela oleh si pemuda jangkung.

Dia menatap Mark dengan ekspresi tertarik, dalam hati penasaran apa pancingannya mulai menaikkan emosi si pemuda berdarah Kanada.

"Udah."

Lucas menerima kembali spidol dan wadah kopi yang disodorkan temannya.

"Oh iya Mark," ujarnya, membuat Mark yang hendak berbalik berhenti. "Lo baca pantun bikinan gue di tempat minum lo seminggu yang lalu?"

"... iya."

"Gimana?"

Mark mengerutkan alisnya. "Apanya?"

"Pantun gue lah. Gimana menurut lo?" Tanya Lucas sambil tersenyum miring.

"Nggak lucu."

Lucas tertawa. Baru kali ini ada yang mengomentari pantunnya. Maklum, temannya yang lain selalu menghujatnya terlebih dahulu sebelum sempat berkomentar.

"Yaah. Berarti gue harus usaha lagi dong ke depannya."

"Buat apa?" Kata Mark tanpa ekspresi. "Kalo iseng nggak usah ke gue. Nggak bakal gue tanggepin."

"Itu sih liat aja nanti," Lucas nyengir.

"Mau lo apa sebenernya ha?"

"Gue cuma penasaran, muka lo pas kesel tuh kayak gimana."

Ujung bibir Mark berkedut. Alisnya yang berbentuk camar perlahan menyatu membentuk kerutan kesal. Kemudian tanpa berkata apapun, kali ini Mark benar-benar berbalik dan meninggalkan counter. Di belakangnya, Lucas memasang senyum puas.

"Bagus juga ekspresinya. Good job there, Luke."










Imaimashí ─lucas, mark。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang