06 # Menginap

706 151 9
                                    

i'm deeply truly sorry for taking so long to update

comment and vote are appreciated!








Bukan tanpa alasan jika Lucas makin mengkhawatirkan keadaan Mark semenjak insiden minum kopi berkali-kali tempo hari, karena teman stoicnya satu itu menjatuhkan dirinya di bangku sebelah Lucas tepat lima menit sebelum bel tanda masuk berbunyi.

Sangat bukan Mark. Mark Lemuel Sinaga yang dikenalnya tidak pernah terlambat (oke, mungkin satu kali ketika Lucas menahannya di gerbang dan memaksanya menemani Lucas fotocopy tugas kelompok), tidak datang ke sekolah dengan penampilan acak-acakan, dan yang pasti tidak berinisiatif duduk di sebelahnya.

Selain hal-hal krusial tersebut, yang Lucas sadari adalah ada lingkaran hitam di sekitar mata Mark. Yang Lucas tahu, Mark begadang untuk belajar itu hal biasa. Tapi sampai kena sindrom mata hitam karenanya?

Itu tidak termasuk hitungan.

"Tumben," Lucas memutuskan untuk nyeletuk dan mencairkan suasana. Di sebelahnya, Mark masih menelungkupkan kepala di meja dan menggunakan lengan sebagai tumpuan.

"Apanya?"

Nada bicara si pemuda berdarah Kanada terdengar galak. Lucas jadi teringat saat dia pertama kali mengisengi Mark.

"Hampir telat."

"Hampir doang kan, bukan telat," balas Mark sekenanya. Suaranya teredam karena dia membalas perkataan Lucas tanpa balik memandang si pemuda.

"Ya iya sih tapi kan tumben aja. Aneh gitu. Suspicious lah bahasa Chinanya," celoteh Lucas.

Dia melirik untuk melihat reaksi Mark. Alangkah senangnya dia kalau temannya satu itu tiba-tiba bangun dari posisi menelungkupnya kemudian menendang tulang kering Lucas sambil menyumpah. Itu baru Mark yang dia kenal semenjak Lucas mulai mengakrabinya.

Namun, hanya helaan napas berat yang dia dapat.

Satu hal lagi yang Lucas ketahui dari Mark. Pemuda itu tidak suka menghela napas berat─yang notabene baru saja dilakukannya. Mengutip kata Mark, menghela napas sama saja dengan mengeluh, dan baginya, mengeluh bukanlah sesuatu perlu dilakukan oleh orang sukses.

Lucas pun akhirnya memutuskan untuk menyuarakan pemikirannya, "Lo lagi ada masalah apa gimana dah? Buat napas aja keknya berat amat gue denger-denger."

Jeda beberapa detik sebelum Mark menjawabnya,

"Ada."

Lucas hanya bisa tertegun.






Sepertinya Lucas tengah bermimpi karena Mark baru saja mengiyakan ajakannya untuk menginap di rumahnya.

"Lo serius, Mark?" Dia masih menatap pemuda stoic─yang sekarang berdiri kaku di sebelah motornya, dengan tatapan heran.

Keanehan yang pertama, Mark bolos pertemuan OSIS yang begitu dielu-elukan olehnya. Yang kedua, kawannya itu bilang dengan tegas bahwa dia malas pulang.

Yah, Lucas berasumsi, dia belum begitu tahu apakah Mark ini tipe murid teladan yang kerjaannya sekolah-ekskul-bimbel-pulang. Tapi malas pulang?

Mana ada orang yang malas bertemu dengan kasur berbantal guling empuk yang mengundang untuk dipeluk?

"Iyalah. Retoris pertanyaan lo," jawab Mark ketus, seperti biasa.

"Tapi lo bahkan nggak ada niat sama sekali nginep di rumah gue," Lucas melirik ke ransel yang tersampir rapi di bahu Mark. "Gue yakin lo nggak bawa baju ganti."

Mark memutar bola mata, lelah. "Lo ada baju kan?"

"Ha?" Lucas gelagapan. "Ya iyalah, kan rumah gue."

"Yaudah, pinjem baju lo dulu."

Sumpah, Lucas bingung harus bereaksi apa. Jemarinya yang kebiasaan memutar kunci motor tanpa sadar pun mendadak berhenti begitu saja.

"Gue kalo udah masuk rumah males keluar lagi, Mark. Jadi jangan tiba-tiba minta gue nganterin lo pulang ya nanti," Lucas mewanti-wanti kembali.

"Lo pikir gue bocah yang harus dianterin kalo pengen pulang?" Mark menaikkan sebelah alisnya, terlihat sedikit tersinggung dengan perkataan si pemuda jangkung.

Lucas mengusap tengkuknya, lama-lama canggung juga. Baru kali ini dia dibuat mati kutu, apalagi oleh seorang Mark Lemuel Sinaga.

"Ya nggak gitu juga, Mark. Kali aja kan lo tiba-tiba berubah pikiran. Gitu."

Si pemuda stoic hanya mendecih. Ekspresinya berubah keruh, kegalakannya bertransisi menjadi raut sedih bercampur marah.

Tipe marah yang jujur saja tidak pernah dilihat maupun dirasa oleh Lucas.

"Lagian, siapa bilang gue pengen pulang."

Lagi, perkataan Mark membuatnya tertegun untuk kedua kali.


Imaimashí ─lucas, mark。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang