05 # Kafein

802 172 8
                                    



Semenjak gue mengakrabi Mark, entah kenapa temen-temen gue yang biasanya pada cuek bebek (dan bahkan pas gue sakit pun nggak ada yang nyadar) tiba-tiba berubah jadi mesin penanya otomatis yang sangat kritis.

Dan untuk menjawab bombardir pertanyaan mereka, dari 'Sejak kapan Lucas deket sama Mark?' atau yang kurang ajar, 'Mark kena ancem apa dah sampai mauan deket-deket Lucas?', gue jelasin aja sekalian semuanya di sini.

Awalnya, gue memang nyoba ngerusuhin dia (yang di Dreamies itu kalau kalian lupa) semata-mata karena gue muak liat muka datar dan sifatnya yang sama sekali nggak ada niatan buat sosialisasi. Simpelnya, buat apa Mark nimba ilmu di sekolah umum kalau interaksi aja nggak mau?

Tapi gue nggak pernah ada niatan ngebully dia, sumpah.

Dan pastinya setelah beberapa waktu ngobrol sama Mark─walau kebanyakan sepihak, akhirnya gue paham kalau Mark itu cuma over pendiam. Kecuekannya (atau dalam kasus gue, kegalakan) muncul karena dia ingin melindungi diri dari kejamnya siklus sosialisasi para remaja.

Mau nggak mau gue jadi merasa agak bangga karena punya inisiatif buat ngeganggu dia. Karena kalau nggak, gue nggak bakal mungkin di sini─bisa ngejahilin Mark tanpa merasa canggung atau takut dipelototin, dan bahkan bisa denger Mark mengeluh kalau dia sedang dalam mood yang baik.

Iya kalian nggak salah baca. Mark malah sering mengeluh pas moodnya lagi baik. Aneh emang. Dasar manusia batu.

Dan gestur-gestur kecil inilah yang bikin gue menyadari kejanggalan dalam perilaku Mark hari ini.

"Masih pagi ini, Mark. Udah ngopi aja," gue melirik kopinya yang masih mengepul, heran.

Menurut ceritanya barusan, dia bawa kopi sendiri dari rumah kemudian menggunakan fasilitas milik Pak Satpam buat bikin kopinya.

"Lagi pengen," balasnya singkat, yang sekali nggak menjelaskan apapun.

Sialan nih anak. Nggak peka sama sekali kalau gue juga pengen dibikinin kopi.

Setelah itu, semuanya kembali seperti biasa. Pas KBM, Mark fokus sama penjelasan guru sementara gue rada sliwer karena ngantuk tadi tidur jam satu. Sampai akhirnya istirahat pertama tiba, dan gue dibuat speechless sama Mark.

Dia pesen kopi di Bu Mat.

Oke mungkin lo pada heran kenapa gue nganggep ginian sesuatu yang aneh. Tapi seinget gue─sebagai Mark's first friend in years, Mark nggak begitu suka kopi item. Seleranya tuh ya yang ada campurannya jadi rasanya nggak pait-pait amat. Dan bahkan, akhir-akhir ini pun gue juga menemukan fakta bahwa Mark sebenarnya nggak begitu suka kopi, walaupun dia rajin ngunjungi kafe tempat gue kerja seminggu sekali.

Lah ini dia malah pesen kopi item di siang bolong.

"Mark, lo mau lembur tugas OSIS apa gimana dah?" Tanya gue disela-sela kegiatan Mark yang menyeruput kopinya dengan tidak lihai.

"Nggak. Urusan OSIS udah gue kelarin minggu kemarin."

"Terus lo kenapa minum kopi mulu?"

Dari sudut mata, gue liat Woojin, Changbin, Joochan, dan Yongbi yang di kantin ini duduk satu meja sama gue dan Mark langsung natap kami dengan aneh.

Tapi Mark keliatan nggak peduli. "Bukan urusan lo kan, Cas."

"Iya iya bukan urusan gue. Liat aja nanti kalau lo ngeluh ke gue perut lo mules atau apa gara-gara minum kopi mulu."

Dengan decakan final sarat akan kekesalan, gue memalingkan wajah dari Mark. Gue pun minum air putihnya Changbin sampe tinggal setengah buat ngilangin keempetan, mengundang geplakan protes di lengan dari si pemilik.

"Gue liat-liat lo berdua makin mirip orang pacaran aja. Ckckck, pantes tiap deketin cewek cuma lo PHP doang, Cas. Ternyata udah sama Mark ya." Joochan dan mulut tanpa penyaringnya.

"Mau gue tempeleng, Chan?"

"Hehehe, mau dong. Pake duit ya."

Setelah gue misuh-misuh dan Mark memberi serangan pamungkas─menggeplak kepala bebal Joochan, meja kami pun kembali diisi oleh tawa gahar dan pembicaraan ngalor-ngidul yang membuat para cewek menjauh dalam radius empat meter.


Akhirnya, bel pulang bunyi juga. Udah saatnya bagi gue buat balik ke kelas abis dispensasi basket. Ngambil tas doang sih, soalnya tadi sengaja gue taruh di kelas biar ada alasan pulang duluan dari latihan.

Gue pikir gue bakal nemuin geng-gengnya Woojin sama Joochan di kelas, soalnya mereka suka nongkrong dan gitaran nggak jelas daripada pulang. Tapi nyatanya gue malah ketemu Mark.

Gue naikin alis, heran. Tumben amat nggak cabut ke ruang OSIS, atau malah langsung gas ke rumah.

Sebelum gue sempet nyapa, Mark udah mendongak dan tersenyum dengan nggak ikhlas ke arah gue.

"Gue kira lo udah pulang," kata Mark, yang mengagetkan sekali berhubung dia jarang mulai percakapan duluan. Tapi gue simpan dalam-dalam keterkejutan tersebut.

"Ngambil tas nih," gue mengedikkan dagu ke bangku, dimana tas gue tergeletak tak berdaya. Mark cuma mengangguk, kelihatan nggak pengen bertanya lebih jauh. "Nggak pengen pulang bareng, Mark?"

"Kapan-kapan aja, Luke. Gue masih ada urusan hari ini."

"Ooh, yaudah. Kalo gitu gue duluan ya. Jangan lupa mampir ke Dreamies, gue ada shift lagi hari ini."

Mark mengacungkan jempolnya, kemudian dengan lesu melenggang meninggalkan kelas.

Tipikal Mark L. Sinaga.

Tapi lagi-lagi gue menemukan kejanggalan. Pas gue ke parkiran siswa buat ngambil motor, gue ngeliat temen stoic satu itu lagi niup kopi hitam yang mengepulkan asap tepat ke mukanya.

Kopi, lagi?





Imaimashí ─lucas, mark。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang